Syekh Muhammad Abduh menjelaskan ilmu kalam sebagai suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib yang ada bagi-Nya, sifat-sifat jaiz yang disifatkan bagi-Nya, dari sifat-sifat yang tidak ada bagi-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib ada pada dirinya, hal-hal jaiz yang dihubungkan pada diri mereka, dan hal-hal terlarang yang dihubungkan kepada diri mereka.
Ibnu Kholdun menjelaskan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan kepercayaan-kepercayan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunnah. Menurutnya, ilmu kalam ini berpijak dari rukun iman yang harus dipercayai oleh setiap muslim agar memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Rukun iman ini harus dibuktikan dengan cara yang rasional.
Mustafa Abdul Raziq menjelaskan ilmu kalam sebagai ilmu yang sangat erat hubungannya dengan keyakinan iman atau aqidah seseorang yang berasal dari argumen-argumen yang rasional.
Adapun Ruang Lingkup Pembahasan dari Teology Islam (Ilmu Kalam) itu adalah :
1. Ilahiyyaat yaitu masalah ketuhanan
Masalah ketuhanan membicarakan masalah :
• Dzat Tuhan
• Nama dan sifat Tuhan
• Perbuatan Tuhan.
2. Annubuwwaat yaitu masalah kenabiyan
• Masalah kenabian membicarakan :
• Kemukjizatan nabi-nabi
• Nabi-nabi terakhir
3. Assam’iyyaat yaitu hal-hal yang tak mungkin kita ketahui melainkan ada informasi dari nabi, yaitu berbicara masalah wahyu. Masalah sam’iyyaat meliputi antara lain :
• Masalah azab kubur
• Neraka
• Surga
<b><b><b></b></b></b>
IslamBagus.com
Saturday 29 April 2017
Thursday 27 October 2016
KONTEKSTUALISASI TEORI-TEORI BELAJAR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembelajaran merupakan kegiatan yang
sistematis dan berurutan. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran harus
direncanakan dengan baik. Sangat penting bagi seorang pendidik untuk memiliki
kemampuan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil dan proses
pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik sangat didukung oleh peranan guru
dalam menentukan strategi, metode, media dan alat evaluasi yang tepat.
Dewasa ini, pendidikan di Indonesia
belum mampu berjalan secara optimal dan masih jauh dari harapan dan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Beberapa hal yang melatarbelakangi hal
tersebut adalah karena proses penyampaian materi oleh guru kurang optimal
dengan penggunaan model dan metode pembelajaran yang cenderung monoton dan
menjenuhkan bagi peserta didik. Guru merupakan salah satu faktor utama bagi
terciptannya generasi penerus bangsa yang berkualitas, sehingga guru harus bisa
menerapkan model pembelajaran yang dapat efektif dan efisien.
Munculnya model dan metode pembelajaran yang
berkembang sekarang tak lepas dari peranan teori-teori belajar yang sudah ada
sejak zaman dahulu, seperti teori belajar behaviorisme, konstruktivisme,
humanisme, sibernetik dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
membahas mengenai pengontekstualan teori-teori belajar.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja macam-macam teori belajar ?
2. Bagaimana
pengotekstualan teori-teori belajar ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Macam-macam
teori-teori belajar
Teori belajar dapat membantu guru untuk
memahami bagaimana peserta didik belajar. Pemahaman tentang cara belajar dapat
membantu proses belajar lebih efektif, efisien, dan produktif. Berdasarkan
teori belajar, guru dapat merancang dan merencanakan proses pembelajarannya. Teori
belajar juga dapat menjadi panduan guru untuk mengelola kelas serta membantu
guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa
yang telah dicapai.[1]
Perlu dipahami bahwa tidak ada teori
yang sempurna. Tidak ada satu pun teori yang cocok bagi setiap individu dan
tidak semua praktik pendidikan dilatarbelakangi oleh sebuah teori khusus.[2]
Diantara teori-teori belajar itu ialah:
1.
Teori
konstrutivisme
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran
yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksi pengalaman, kita membangun,
mengkonstruksi pengetahuan kita tentang dunia tempat kita.[3]
Konstruktivisme merupakan salah satu filsafat
pengetahuan yang menekan bahwa pengetahuan adalah buatan kita sendiri sebagai
hasil konstruksi kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur,
kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membangun pengetahuan
tersebut.[4]
Teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran cognitive baru dalam psikologi pendidikan
yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan
informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevisi apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi.[5]
Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
teori belajar kontruktivisme merupakan teori belajar yang menuntut siswa
mengkonstruksi kegiatan belajar dan mentransformasikan informasi kompleks untuk
membangun pengetahuan secara mandiri.
Menurut konstruktivisme, belajar merupakan
proses mengkonstruksi pengetahuan yang terjadi dari dalam diri anak. Artinya,
pengetahuan diperoleh mengetahui suatu dialog oleh suasana belajar yang
bercirikan pengalaman dua sisi (kognitif dan afektif). Konsep pandangan
konstruktivistik menekankan keterlibatan anak dalam proses belajar. Menurut
pandangan ini, proses belajar harus menyenangkan bagi anak dan memungkinkan
anak berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya.[6]
Konsep utama dari konstruktivisme adalah bahwa
peserta didik adalah aktif dan mencari untuk membuat pengertian tentang apa
yang ia pahami, ini berarti belajar membutuhkan untuk fokus pada skenario berbasis
masalah, belajar berbasis proyek, belajar berbasis tim, simulasi dan penggunaan
teknologi. Poedjiadji mengemukakan bahwa dalam pembelajaran, guru perlu memotivasi
siswa menggunakan teknik-teknik yang kritis untuk mengaplikasikan konsep-konsep
yang bermakna bagi dirinya. Ini berarti belajar tidaklah terjadi dengan cara
yang linier melainkan melalui serangkaian siklus yang berulang.[7]
Sesuai dengan prinsip belajar teori
konstruktivisme, maka dalam pembelajarannya nampak ada pergeseran fungsi guru
dan buku sumber sebagai sumber informasi. Guru lebih berfungsi membekali
kemampuan siswa dalam menyeleksi yang dibutuhkan.[8]
Dalam pendidikan Islam, pembelajaran
berdasarkan teori konstruksivisme sangatlah relevan, karena dalam teori ini
siswa diasumsikan memiliki potensi dan kemampuan untuk dikembangkan. Siswa
bukanlah “botol kosong” yang siap diisi semau gurunya. Dalam Islam kita
diharuskan memiliki asumsi bahwa hidup di dunia sudah memiliki bakat (fitrah)
masing-masing. Pendidikan atau pembelajaran memiliki tugas mengembangkan agar
potensi (fitrah) tersebut benar-benar mengarah kepada hal positif sehingga
cita-cita Islam menciptakan manusia yang sempurna (insan kamil) akan
benar-benar terwujud.[9]
Beberapa kelebihan pembelajaran
konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1.
Peserta didik terlibat secara langsung dalam
membangun pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan dapat
mengaplikasikannya.
2.
Peserta didik aktif berpikir untuk
menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat keputusan.
Selain itu, murid terlibat secara langsung dan
aktif belajar sehingga dapat mengingat konsep secara lebih lama.[10]
2.
Teori
Humanisme
Humanisme adalah aliran dalam psikologi yang
muncul tahun 1950-an sebagai reaksi terhadap behaviorisme dan psikoanalisis.
Arthur Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan asumsi
bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan
disajikan sebagaimana mestinya. Menurut Combs, yang terpenting adalah bagaimana
membawa peserta didik untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi
pembelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya. [11]
Teori belajar humanistik menganggap bahwa
keberhasilan belajar terjadi jika peserta didik memahami lingkungannya dan
dirinya sendiri. Pembelajaran humanistik menempatkan guru sebagai pembimbing
dengan memberi pengarahan pada peserta didik agar dapat mengaktualisasikan
dirinya sendiri sebagia manusia yang unik untuk mewujudkan potensi-potensi yang
ada dalam dirinya. Peserta didik berperan pelaku utama (student center)
yang memaknai pengalaman belajarnya sendiri. Proses belajar seperti itu
memungkinkan peserta didik untuk memahami potensi diri, mengembangkan potensi
dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.[12]
Teori belajar humanistik beranggapan bahwa
teori belajar apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk “memanusiakan
manusia”, yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta merealisasikan
diri orang yang belajar secara optimal.[13]
Bebrapa tokoh penganut aliran humanistik,
diantaranya adalah Kolb, Habermas, Honey dan Mumford. Kolb terkenal dengan
pembelajaran eksperensial yang juga dikenal sebagai “belajar empat tahap”,
yakni pengalaman konkret, pengalaman aktif, dan reflektif, konseptualisasi, dan
eksperimentasi aktif. Honey dan Mumford mendeskripsikan pembagian tentang jenis
peserta didik berdasarkan teori Kolb, yakni aktifis, reflektor, teoritis, dan
pragmatis. Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi
antara individu dengan lingkungannya.[14]
Ada beberapa tokoh yang terkenal mempelopori
teori humanisme ini, diantaranya ialah:
1.
Maslow
Menurut
Abraham Maslow, individu berperilaku dalam upaya untuk memnuhi kebutuhan yang
bersifat hierarkis. Setiap individu mempunyai berbagai perasaan takut untuk
berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan
apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Individu juga memiliki dorongan untuk
lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, berfungsinya semua kemampuan,
kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima
diri sendiri.[15]
2.
John Dewey
John Dewey
memperkenalkan konsep belajar progresif (learning by doing), yakni bahwa belajar menyangkut apa yang harus
dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri. Maka, inisiatif harus datang dari
dirinya sendiri, sedangkan guru berfungsi sebagai pembimbing, pengarah atau
fasilitator.[16]
3.
Albert Bandura
Albert Bandura
dengan teori sosial (teori belajar observasional),
berpendapat bahwa peserta didik belajar melalui pengamatan atau berdasarkan apa
yang mereka saksikan. Menurut Bandura, perilaku manusia tidak seluruhnya
konsisten dan dipengaruhi oleh lingkungan. Teori ini menyatakan bahwa belajar
dipengaruhi oleh faktor personal, tingkah laku, dan lingkungan yang saling
berinteraksi.[17]
B.
Pengontekstualan
Teori Belajar
Berikut ini merupakan model pembelajaran
kontemporer yang berlandaskan dari teori belajar konstruktivisme dan humanisme:
1.
Quantum Teaching and Learning
Quantum Teaching and
Learning adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansanya,
serta menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan
momen belajar.[18] Quantum
teaching merupakan orkestrasi bermacam-macam interaksi yang
ada di dalam dan disekitar momen belajar. Interaksi-interaksi itu mencakup
unsur-unsur untuk balajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa secara
menyeluruh. Interaksi-interaksi ini megubah kemampuan dan bakat alamiah siswa
menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain
sehingga dalam proses pelaksanaannya tidak hanya sendirian, semuanya menjadi
sangat penting karena keberadaannya saling menopang antara satu dan lainnya.[19]
Asas dari quantum teaching adalah
“Bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”.[20]
Dalam artian apa yang ada dalam diri harus mampu membawa anak didik untuk
memahami dan mencoba menerapkannya dalam kehidupan. Asas ini mengingatkan kita
pentingnya memasuki dunia murid sebagai langkah pertamanya dan utama. Jika
telah masuk dalam dunia murid maka akan lebih mempermudah untuk menerapkan
berbagai metode pembelajaran yang sesuai dengan keinginannya dan mampu membawa
mereka untuk tetap belajar.[21]
Dalam pelaksanaan metode Quantum
Teaching terdapat langkah-langkah pengajaran, dengan enam langkah yang
tercermin dalam istilah TANDUR, yaitu:
a.
Tumbuhkan minat dengan memuaskan
Yakni apakah manfaat yang akan diperoleh
dari pelajaran tersebut bagi guru dan muridnya. Cobalah untuk menumbuhkan
suasana yang sangat menyenangkan dan menggembirakan di hati setiap siswa, dalam
suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan siswa, masuklah kealam pikiran
mereka dan bawalah alam pikiran mereka ke dalam pikiran anda, yakinkan siswa
mengapa harus mempelajari ini dan itu. Belajar adalah suatu kebutuhan siswa,
bukan suatu keharusan. Jika sudah demikian, maka siswa akan merasakan enjoy dan
menikmati belajarnya.[22]
b.
Alami
Yakni ciptakan dan datangkan pengalaman
umum yang dapat dimengerti semua pelajaran. Jangan sampai menggunakan istilah
yang asing dan sulit untuk dimengerti, karena akan membuat siswa merasa bosan
dalam belajar.[23]
c.
Namai
Memberi nama pada kata kunci, konsep,
model, rumus, strategi yang kemudian menjadi sebuah masukan bagi si anak.
d.
Demonstrasikan
Yakni sediakan kesempatan bagi pelajar
untuk menunjukkan bahwa mereka tahu. Setelah siswa mengalami belajar akan
sesuatu, beri kesempatan kepada mereka untuk mendemonstrasikan kemampuannya
karena siswa akan mampu mengingat 90% jika siswa itu mendengar, melihat dan
melakukannya.[24]
e.
Ulangi
Yakni tunjukkan kepada para siswa
tentang cara-cara mengulang materi dan menegaskan bahwa “Aku tahu bahwa aku
tahu ini”. Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu
bahwa aku tahu ini”.
f.
Rayakan
Yakni pengakuan untuk penyelesaian,
partisipasi, dan perolehan ketrampilan dan ilmu pengetahuan. Perayaan adalah
ekspresi dari kelompok seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas
atau kewajiban dengan baik.[25]
Selain itu ada teknik lain dari quantum
teaching yaitu AMBAK. AMBAK adalah suatu teknik penting dalam quantum
teaching. AMBAK merupakan singkatan dari Apa Manfaat Bagiku. Teknik ini menekankan
bagaimana sedapat mungkin bisa menghadirkan perasaan dalam diri siswa bahwa apa
yang mereka pelajari akan memberikan manfaat yang besar. Teknik AMBAK meneunjukkan
kepada kita betapa quantum teaching lebih menekankan pada
pembelajaran yang sarat makna dan sistem nilai yang bisa dikotribusikan kelak
saat anak dewasa nanti.
Pembelajaran kuantum bukanlah suatu
metode tunggal melainkan merupakan seperangkat metode yang mengatur lingkungan
belajar dan menciptakan suasana pembelajaran yang khusus. Lingkungan belajar
dikembangkan secara positif (keakraban dan saling mengerti antara siswa dan
guru, tidak ada bentakan, tidak ada hukuman, tidak ada cemooh dan kecaman),
aman, mendukung, santai tetapi terprogram tetap, ada penjelajahan (exploratory),
dan menyenangkan. [26]
Quantum Learning sebagai
salah satu metode belajar dapat memadukan berbagai sugesti positif dan
interaksinya dengan lingkungan yang dapat memengaruhi proses dan
hasil belajar siswa. Lingkungan belajar yang menyenangkan dapat menimbulkan
motivasi pada diri siswa sehingga secara langsung dapat memproses belajar
mereka.[27]
Tak bisa dipungkiri bahwa penerapan
sebuah metode dalam pembelajaran terdapat kelebihan dan kekurangan dari metode
tersebut, karena tidak ada metode yang sempurna. Berikut ini merupakan
kelebihan dan kekurangan dari metode quantum teaching:
Kelebihan metode quantum teaching
1. Menjadikan
proses pembelajaran lebih nyaman dan menyenangkan
2. Materi
pembelajaran mudah diterima
3. Tidak
membutuhkan keterangan yang banyak
4. Guru
menjadi terbiasa berfikir kreatif setiap harinya.
5. Lebih
melibatkan siswa
Beberapa kelemahan pembelajaran kuantum
adalah:
1.
Memerlukan dan menuntut keahlian dan
ketrampilan guru lebih khusus.
2.
Memerlukan proses perancangan dan persiapan
pembelajaran yang cukup matang dan terencana dengan cara yang lebih baik.
3.
Tidak semua kelas memiliki sumber belajar,
alat belajar, dan fasilitas yang dijadikan prasyarat dalam pembelajaran
kuantum.
2.
Pembelajaran Multiple Intelligence
Ilmuwan Howard Gardner yang berjasa
mengembangkan teori kecerdasan majemuk. Hal ini dilaksanakannya melalui
penyelidikan bertahun-tahun, dimulai sejak tahun 1983 dan terus berlanjut
sampai sekarang.[29]
Dalam publikasi awal Howard Gardner, semula
hanya diungkapkan tujuh macam kecerdasan, namun setelah penelitian berlanjut,
hasil penyelidikannya yang terakhir mengungkapkan ada Sembilan macam kecerdasan
yang potensial dikembangkan oleh setiap siswa. Gardner mendefinisikan
kecerdasan atau intelegensia sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan suatu produk tertentu dalam berbagai kondisi dan situasi
pembelajaran yang nyata.
Kesembilan jenis kecerdasan menurut Gardner
tersebut secara ringkas diuraikan sebagai berikut:
1.
Kecerdasan verbal/ bahasa (verbal-linguistic intelligence).
Secara
sederhana dapat dikatakan sebagai kecakapan untuk menggunakan kata-kata dan
bahasa. Kecerdasan ini mudah diperkuatdengan kegiatan dan praktik berbahasa
maupun tulisan.peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan ini cenderung
mnyenangi kegiatan yang terkait dengan penggunaan bahasa seperti membaca,
membuat cerita pendek bahkan menyusun novel.[30]
2.
Kecerdasan logika/matematik (logical-matematical intelligence)
Anak-anak
dengan potensi kecerdasan ini mudah melakukan perhitungan, mudah menghafal
rumus-rumus, cenderung menyenangi kegiatan analisis dan mempelajari hubungan
kausa segala sesuatu. Mereka cocok untuk berbagai bidang profesi yang
memerlukan penguasaan matematika, statistika, sains dan teknologi.
3.
Kecerdasan visual /ruang (visual spatial intelligence)
Seorang anak
dengan potensi kecerdasan visual mudah mengenali suatu tempat/wilayah, walau
tempat itu mungkin baru dilihatnya di layar televisi atau darisebuah foto/gambar.
Kecerdaan ini terkai dengan bidang seni rupa, arsitektur, navigasi, kemampuan
pandang ruang. Peserta didik yang memiliki kecerdasan visual memiliki kemampuan
untuk berimajinasi bentuk dalam pikirannya, menciptakan bentuk-bentuk
berdimensi ruang (tiga dimensi) seperti mebuat patung, manekin, membuat desain
bangunan dan sebagainya.
4.
Kecerdasan fisikal/gerak tubuh (kinesthetic intelligence)
Siswa dengan
potensi kecerdasan ini sering menggunakan gerak tubuh untuk berkomunikasi dan
menyatakan ekspresi diri. Kegiatan menari, berakrobat, berolahraga, dan
lain-lain akan memperkuat potensi kecerdasan ini.
5.
Kecerdasan musikal (musical intelligence)
Peserta didik
dengan potensi kecerdasan ini suka sekali mendengarkan nada dan irama yang
merdu, mampu menciptakn sebuah lagu, mudah memainkan berbagai alat musik, mudah
berfikir jika mendengar lagu-lagu yang lembut dan sebagainya.[31]
6.
Kecerdasan antar personal (interpersonal intelligence)
Seseorang yang
memiliki potensikecerdasan ini mudah berkomunikasi dengn baik dengan orang
lain, cocok bagiprofesi dengan masyarakat (public relation), diplomat, duta
besar danlain-lain yang keberhasilannya amat bergantung pada kecakapan
komunikasi antar manusia .
7.
Kecerdassan intrapersonal (intrapersonal intelligence)
Peserta didik
dengan emampuan kecerdasanini cenderung senang melakukan introspeksi diri,
merenungkan berbagai kekurangan dan kekuatannya, mengoreksi kelemahannya
kemudian berupaya memperbaiki diri, memperkokoh kekuatannya untuk semakin
membentuk karakter dirinya.
8.
Kecerdasan naturalis (naturalist intelligence)
Kecerdasn
initerkait dengan kemampuan memahami lingkungan alam dengan baik, kemampuan memahami vegetasi dan fauna dengan
baik.
9.
Kecerdasan eksistensial (eksistensial intelligence)
Menyangkut
kepekaan dankemampuan seseorang untuk menjawab pertanyaan tentang eksistensi
dirinya sebagai makhluk manusia. Seorang filosof adalah contoh orang dengan
kecerdasan eksistensial yang tinggi.[32]
Teori multiple
intelegences diperkirakan dapat memberikan dampak terhadap pembelajaran
terkait dengan:
1.
Kurikulum, kurikulum tradisional umumnya
terlalu menitikberatkan pada pengembangan kecerdasan verbal-linguistik dan
logika-matematik. Menurut gardner konten kurikulum harus diimbangi dan
diperkaya dengan pembelajaran seni, kesadaran diri, komunikasi dan pendidikan
jasmani. Di indonesia, saran Gardner ini umumnya sudah dilaksanakan kecuali
mungkin pembelajaran tentang bagaimana melakukan komunikasi yang efektif serta
membangkitkan kesadaran diri, misalnya melalui implementasi pendidikan
karakter.
2.
Pengajaran, Gardner menyarankan praktik
pengajaran yang memberdayakan semua jenis kecerdasan, misalnya dengan penerapan
metode bermain peran, kehadiran musik di ruang kelas, pembelajaran kooperatif,
penerapan refleksi pada akhir pembelajaran, visualisasi, misalnya dengan
pembelajaran menggunakan media animasi atau pembelajaran di luar kelas, dan
sebagainya.
3.
Penilaian, harus juga mengakomodasikan adanya
perbedaan potensi kecerdasan di antara para siswa. Inilah hal yang paling sulit
dan kompleks.[33]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dalam belajar dan pembelajaran memiliki
landasan teori yang dapat dijadikan pegangan. Diantara macam-macam teori
belajar ialah:
a. Teori
konstruktivisme
Adalah
sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksi
pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan kita tentang dunia
tempat kita.
b.
Teori humanisme
Teori humanisme konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan
kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan
kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut.
2.
Model pembelajaran kontemporer yang
berlandaskan dari teori belajar konstruktivisme dan humanisme ialah:
a.
Pembelajaran Quantum
Quantum
Teaching and Learning adalah pengubahan belajar yang meriah dengan
segala nuansanya, serta menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang
memaksimalkan momen belajar.
b.
Pembelajaran Multiple Intelegences
Merupakan suatu pembelajaran
yang memanfaatkan berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing peserta
didik.
[1] Ridwan Abdullah
sani, Inovasi Pembelajaran, (jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2013), hlm. 2
[3] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran Teori dan
Konsep Dasar, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2011), hlm. 104.
[4] Agus N Cahyo, Panduan Aplikasi
Teori-Teori Belajar Mengajar, (Yogyakarta: Diva
Press, 2013),
hlm. 22.
[5] Trianto, Model Pembelajaran Terpadu
dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hlm. 26.
[6] Hasan Basri, Paradigma Baru Sistem
Pembelajaran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 47.
[7] Rusman, Pembelajaran Tematik Terpadu
Teori, Praktik dan Penilaian, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hlm. 49.
[8] M. Saekan Muchit, Isu-Isu Kontemporer dalam Pendidikan Islam
(Kudus: STAIN
Kudus, 2009), hlm. 69.
[9] Ibid., hlm.70.
[10] Ridlwan Abdullah sani, Inovasi Pembelajaran..., hlm. 22.
[11] Ibid., hlm. 24-25.
[12] Ibid., hlm. 26.
[13] Ibid., hlm. 26.
[14] Ibid., hlm. 26-27.
[15] Ibid., hlm. 28.
[16] Ibid., hlm. 31.
[17] Ibid., hlm. 35.
[18]Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Refrensi Bagi Guru/Pendidik dalam
Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana,
2014), hlm. 199.
[19] Mastuki HS dkk,
Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2008), hlm. 170.
[20] Bobbi Deporter dkk, Quantum
Teaching, diterj oleh. Ary Nilandari, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004),
hlm. 6.
[21] Mastuki HS dkk, Manajemen
Pondok Pesantren..., hlm.
27
[22] Miftahul A’la, Quantum
Teaching, (Yogyakarta: Diva Press, 2010), hlm. 34.
[23] Ibid.,
hlm. 35.
[24] Ibid.,
hm. 36-37.
[25] Ibid.,
hlm. 39-40.
[26] Suyono dan Hariyanto,
Implementasi Belajar dan Pembelajaran,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm.39.
[27] Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu
Metodis dan Paradigmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 196.
[28] Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran..., hlm. 196.
[29] Suyono dan Hariyanto, Implementasi Belajar dan Pembelajaran...,
hlm. 26.
[30] Ibid., hlm. 27.
[31] Ibid., hlm. 28.
[32] Ibid., hlm. 29-30.
[33] Ibid., hlm. 33.
Subscribe to:
Posts (Atom)