Saturday 29 April 2017

PENGERTIAN ILMU KALAM

Syekh Muhammad Abduh menjelaskan ilmu kalam sebagai suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib yang ada bagi-Nya, sifat-sifat jaiz yang disifatkan bagi-Nya, dari sifat-sifat yang tidak ada bagi-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib ada pada dirinya, hal-hal jaiz yang dihubungkan pada diri mereka, dan hal-hal terlarang yang dihubungkan kepada diri mereka.

Ibnu Kholdun menjelaskan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan kepercayaan-kepercayan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunnah. Menurutnya, ilmu kalam ini berpijak dari rukun iman yang harus dipercayai oleh setiap muslim agar memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Rukun iman ini harus dibuktikan dengan cara yang rasional.

Mustafa Abdul Raziq menjelaskan ilmu kalam sebagai ilmu yang sangat erat hubungannya dengan keyakinan iman atau aqidah seseorang yang berasal dari argumen-argumen yang rasional.


Adapun Ruang Lingkup Pembahasan dari Teology Islam (Ilmu Kalam) itu adalah :

1. Ilahiyyaat yaitu masalah ketuhanan
    Masalah ketuhanan membicarakan masalah :
•    Dzat Tuhan
•    Nama dan sifat Tuhan
•    Perbuatan Tuhan.

2.  Annubuwwaat yaitu masalah kenabiyan
•    Masalah kenabian membicarakan :
•    Kemukjizatan nabi-nabi
•    Nabi-nabi terakhir

3.  Assam’iyyaat yaitu hal-hal yang tak mungkin kita ketahui melainkan ada informasi dari nabi, yaitu berbicara masalah wahyu. Masalah sam’iyyaat meliputi antara lain :
•    Masalah azab kubur
•    Neraka
•    Surga

<b><b><b></b></b></b>

Thursday 27 October 2016

KONTEKSTUALISASI TEORI-TEORI BELAJAR



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pembelajaran merupakan kegiatan yang sistematis dan berurutan. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran harus direncanakan dengan baik. Sangat penting bagi seorang pendidik untuk memiliki kemampuan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil dan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik sangat didukung oleh peranan guru dalam menentukan strategi, metode, media dan alat evaluasi yang tepat.
Dewasa ini, pendidikan di Indonesia belum mampu berjalan secara optimal dan masih jauh dari harapan dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Beberapa hal yang melatarbelakangi hal tersebut adalah karena proses penyampaian materi oleh guru kurang optimal dengan penggunaan model dan metode pembelajaran yang cenderung monoton dan menjenuhkan bagi peserta didik. Guru merupakan salah satu faktor utama bagi terciptannya generasi penerus bangsa yang berkualitas, sehingga guru harus bisa menerapkan model pembelajaran yang dapat efektif dan efisien.
Munculnya model dan metode pembelajaran yang berkembang sekarang tak lepas dari peranan teori-teori belajar yang sudah ada sejak zaman dahulu, seperti teori belajar behaviorisme, konstruktivisme, humanisme, sibernetik dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas mengenai pengontekstualan teori-teori belajar.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa saja macam-macam teori belajar ?
2.    Bagaimana pengotekstualan teori-teori belajar ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Macam-macam teori-teori belajar
Teori belajar dapat membantu guru untuk memahami bagaimana peserta didik belajar. Pemahaman tentang cara belajar dapat membantu proses belajar lebih efektif, efisien, dan produktif. Berdasarkan teori belajar, guru dapat merancang dan merencanakan proses pembelajarannya. Teori belajar juga dapat menjadi panduan guru untuk mengelola kelas serta membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa yang telah dicapai.[1]
Perlu dipahami bahwa tidak ada teori yang sempurna. Tidak ada satu pun teori yang cocok bagi setiap individu dan tidak semua praktik pendidikan dilatarbelakangi oleh sebuah teori khusus.[2]
Diantara teori-teori belajar itu ialah:
1.    Teori konstrutivisme
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksi pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan kita tentang dunia tempat kita.[3]
Konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekan bahwa pengetahuan adalah buatan kita sendiri sebagai hasil konstruksi kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membangun pengetahuan tersebut.[4] Teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran cognitive baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisi apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi.[5]
Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori belajar kontruktivisme merupakan teori belajar yang menuntut siswa mengkonstruksi kegiatan belajar dan mentransformasikan informasi kompleks untuk membangun pengetahuan secara mandiri.
Menurut konstruktivisme, belajar merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan yang terjadi dari dalam diri anak. Artinya, pengetahuan diperoleh mengetahui suatu dialog oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi (kognitif dan afektif). Konsep pandangan konstruktivistik menekankan keterlibatan anak dalam proses belajar. Menurut pandangan ini, proses belajar harus menyenangkan bagi anak dan memungkinkan anak berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya.[6]
Konsep utama dari konstruktivisme adalah bahwa peserta didik adalah aktif dan mencari untuk membuat pengertian tentang apa yang ia pahami, ini berarti belajar membutuhkan untuk fokus pada skenario berbasis masalah, belajar berbasis proyek, belajar berbasis tim, simulasi dan penggunaan teknologi. Poedjiadji mengemukakan bahwa dalam pembelajaran, guru perlu memotivasi siswa menggunakan teknik-teknik yang kritis untuk mengaplikasikan konsep-konsep yang bermakna bagi dirinya. Ini berarti belajar tidaklah terjadi dengan cara yang linier melainkan melalui serangkaian siklus yang berulang.[7]
Sesuai dengan prinsip belajar teori konstruktivisme, maka dalam pembelajarannya nampak ada pergeseran fungsi guru dan buku sumber sebagai sumber informasi. Guru lebih berfungsi membekali kemampuan siswa dalam menyeleksi yang dibutuhkan.[8]
Dalam pendidikan Islam, pembelajaran berdasarkan teori konstruksivisme sangatlah relevan, karena dalam teori ini siswa diasumsikan memiliki potensi dan kemampuan untuk dikembangkan. Siswa bukanlah “botol kosong” yang siap diisi semau gurunya. Dalam Islam kita diharuskan memiliki asumsi bahwa hidup di dunia sudah memiliki bakat (fitrah) masing-masing. Pendidikan atau pembelajaran memiliki tugas mengembangkan agar potensi (fitrah) tersebut benar-benar mengarah kepada hal positif sehingga cita-cita Islam menciptakan manusia yang sempurna (insan kamil) akan benar-benar terwujud.[9]
Beberapa kelebihan pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1.    Peserta didik terlibat secara langsung dalam membangun pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan dapat mengaplikasikannya.
2.    Peserta didik aktif berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat keputusan.
Selain itu, murid terlibat secara langsung dan aktif belajar sehingga dapat mengingat konsep secara lebih lama.[10]
2.    Teori Humanisme
Humanisme adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950-an sebagai reaksi terhadap behaviorisme dan psikoanalisis. Arthur Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan asumsi bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Menurut Combs, yang terpenting adalah bagaimana membawa peserta didik untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pembelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya. [11]
Teori belajar humanistik menganggap bahwa keberhasilan belajar terjadi jika peserta didik memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Pembelajaran humanistik menempatkan guru sebagai pembimbing dengan memberi pengarahan pada peserta didik agar dapat mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagia manusia yang unik untuk mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Peserta didik berperan pelaku utama (student center) yang memaknai pengalaman belajarnya sendiri. Proses belajar seperti itu memungkinkan peserta didik untuk memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.[12]
Teori belajar humanistik beranggapan bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk “memanusiakan manusia”, yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta merealisasikan diri orang yang belajar secara optimal.[13]
Bebrapa tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya adalah Kolb, Habermas, Honey dan Mumford. Kolb terkenal dengan pembelajaran eksperensial yang juga dikenal sebagai “belajar empat tahap”, yakni pengalaman konkret, pengalaman aktif, dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif. Honey dan Mumford mendeskripsikan pembagian tentang jenis peserta didik berdasarkan teori Kolb, yakni aktifis, reflektor, teoritis, dan pragmatis. Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya.[14]
Ada beberapa tokoh yang terkenal mempelopori teori humanisme ini, diantaranya ialah:


1.    Maslow
Menurut Abraham Maslow, individu berperilaku dalam upaya untuk memnuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Setiap individu mempunyai berbagai perasaan takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Individu juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, berfungsinya semua kemampuan, kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.[15]
2.    John Dewey
John Dewey memperkenalkan konsep belajar progresif (learning by doing), yakni bahwa belajar menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri. Maka, inisiatif harus datang dari dirinya sendiri, sedangkan guru berfungsi sebagai pembimbing, pengarah atau fasilitator.[16]
3.    Albert Bandura
Albert Bandura dengan teori sosial (teori belajar observasional), berpendapat bahwa peserta didik belajar melalui pengamatan atau berdasarkan apa yang mereka saksikan. Menurut Bandura, perilaku manusia tidak seluruhnya konsisten dan dipengaruhi oleh lingkungan. Teori ini menyatakan bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor personal, tingkah laku, dan lingkungan yang saling berinteraksi.[17]

B.       Pengontekstualan Teori Belajar
Berikut ini merupakan model pembelajaran kontemporer yang berlandaskan dari teori belajar konstruktivisme dan humanisme:
1.    Quantum Teaching and Learning
Quantum Teaching and Learning adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansanya, serta menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar.[18] Quantum teaching merupakan orkestrasi bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan disekitar momen belajar. Interaksi-interaksi itu mencakup unsur-unsur untuk balajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa secara menyeluruh. Interaksi-interaksi ini megubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain sehingga dalam proses pelaksanaannya tidak hanya sendirian, semuanya menjadi sangat penting karena keberadaannya saling menopang antara satu dan lainnya.[19]
Asas dari quantum teaching adalah “Bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”.[20] Dalam artian apa yang ada dalam diri harus mampu membawa anak didik untuk memahami dan mencoba menerapkannya dalam kehidupan. Asas ini mengingatkan kita pentingnya memasuki dunia murid sebagai langkah pertamanya dan utama. Jika telah masuk dalam dunia murid maka akan lebih mempermudah untuk menerapkan berbagai metode pembelajaran yang sesuai dengan keinginannya dan mampu membawa mereka untuk tetap belajar.[21]
Dalam pelaksanaan metode Quantum Teaching terdapat langkah-langkah pengajaran, dengan enam langkah yang tercermin dalam istilah TANDUR, yaitu:
a.    Tumbuhkan minat dengan memuaskan
Yakni apakah manfaat yang akan diperoleh dari pelajaran tersebut bagi guru dan muridnya. Cobalah untuk menumbuhkan suasana yang sangat menyenangkan dan menggembirakan di hati setiap siswa, dalam suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan siswa, masuklah kealam pikiran mereka dan bawalah alam pikiran mereka ke dalam pikiran anda, yakinkan siswa mengapa harus mempelajari ini dan itu. Belajar adalah suatu kebutuhan siswa, bukan suatu keharusan. Jika sudah demikian, maka siswa akan merasakan enjoy dan menikmati belajarnya.[22]
b.   Alami
Yakni ciptakan dan datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajaran. Jangan sampai menggunakan istilah yang asing dan sulit untuk dimengerti, karena akan membuat siswa merasa bosan dalam belajar.[23]
c.    Namai
Memberi nama pada kata kunci, konsep, model, rumus, strategi yang kemudian menjadi sebuah masukan bagi si anak.
d.   Demonstrasikan
Yakni sediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu. Setelah siswa mengalami belajar akan sesuatu, beri kesempatan kepada mereka untuk mendemonstrasikan kemampuannya karena siswa akan mampu mengingat 90% jika siswa itu mendengar, melihat dan melakukannya.[24]
e.    Ulangi
Yakni tunjukkan kepada para siswa tentang cara-cara mengulang materi dan menegaskan bahwa “Aku tahu bahwa aku tahu ini”. Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu bahwa aku tahu ini”.
f.     Rayakan
Yakni pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan perolehan ketrampilan dan ilmu pengetahuan. Perayaan adalah ekspresi dari kelompok seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik.[25]
Selain itu ada teknik lain dari quantum teaching yaitu AMBAK. AMBAK adalah suatu teknik penting dalam quantum teaching. AMBAK merupakan singkatan dari Apa Manfaat Bagiku. Teknik ini menekankan bagaimana sedapat mungkin bisa menghadirkan perasaan dalam diri siswa bahwa apa yang mereka pelajari akan memberikan manfaat yang besar. Teknik AMBAK meneunjukkan kepada kita betapa quantum teaching lebih menekankan pada pembelajaran yang sarat makna dan sistem nilai yang bisa dikotribusikan kelak saat anak dewasa nanti.
Pembelajaran kuantum bukanlah suatu metode tunggal melainkan merupakan seperangkat metode yang mengatur lingkungan belajar dan menciptakan suasana pembelajaran yang khusus. Lingkungan belajar dikembangkan secara positif (keakraban dan saling mengerti antara siswa dan guru, tidak ada bentakan, tidak ada hukuman, tidak ada cemooh dan kecaman), aman, mendukung, santai tetapi terprogram tetap, ada penjelajahan (exploratory), dan menyenangkan. [26]
Quantum Learning sebagai salah satu metode belajar dapat memadukan berbagai sugesti positif dan interaksinya dengan lingkungan yang dapat memengaruhi proses dan hasil belajar siswa. Lingkungan belajar yang menyenangkan dapat menimbulkan motivasi pada diri siswa sehingga secara langsung dapat memproses belajar mereka.[27]
Tak bisa dipungkiri bahwa penerapan sebuah metode dalam pembelajaran terdapat kelebihan dan kekurangan dari metode tersebut, karena tidak ada metode yang sempurna. Berikut ini merupakan kelebihan dan kekurangan dari metode quantum teaching:
Kelebihan metode quantum teaching
1.    Menjadikan proses pembelajaran lebih nyaman dan menyenangkan
2.    Materi pembelajaran mudah diterima
3.    Tidak membutuhkan keterangan yang banyak
4.    Guru menjadi terbiasa berfikir kreatif setiap harinya.
5.    Lebih melibatkan siswa
Beberapa kelemahan pembelajaran kuantum adalah:
1.    Memerlukan dan menuntut keahlian dan ketrampilan guru lebih khusus.
2.    Memerlukan proses perancangan dan persiapan pembelajaran yang cukup matang dan terencana dengan cara yang lebih baik.
3.    Tidak semua kelas memiliki sumber belajar, alat belajar, dan fasilitas yang dijadikan prasyarat dalam pembelajaran kuantum.
4.    Memerlukan waktu yang cukup banyak.[28]
2.    Pembelajaran Multiple Intelligence
Ilmuwan Howard Gardner yang berjasa mengembangkan teori kecerdasan majemuk. Hal ini dilaksanakannya melalui penyelidikan bertahun-tahun, dimulai sejak tahun 1983 dan terus berlanjut sampai sekarang.[29]
Dalam publikasi awal Howard Gardner, semula hanya diungkapkan tujuh macam kecerdasan, namun setelah penelitian berlanjut, hasil penyelidikannya yang terakhir mengungkapkan ada Sembilan macam kecerdasan yang potensial dikembangkan oleh setiap siswa. Gardner mendefinisikan kecerdasan atau intelegensia sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menghasilkan suatu produk tertentu dalam berbagai kondisi dan situasi pembelajaran yang nyata.
Kesembilan jenis kecerdasan menurut Gardner tersebut secara ringkas diuraikan sebagai berikut:
1.    Kecerdasan verbal/ bahasa (verbal-linguistic intelligence).
Secara sederhana dapat dikatakan sebagai kecakapan untuk menggunakan kata-kata dan bahasa. Kecerdasan ini mudah diperkuatdengan kegiatan dan praktik berbahasa maupun tulisan.peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan ini cenderung mnyenangi kegiatan yang terkait dengan penggunaan bahasa seperti membaca, membuat cerita pendek bahkan menyusun novel.[30]
2.    Kecerdasan logika/matematik (logical-matematical intelligence)
Anak-anak dengan potensi kecerdasan ini mudah melakukan perhitungan, mudah menghafal rumus-rumus, cenderung menyenangi kegiatan analisis dan mempelajari hubungan kausa segala sesuatu. Mereka cocok untuk berbagai bidang profesi yang memerlukan penguasaan matematika, statistika, sains dan teknologi.
3.    Kecerdasan visual /ruang (visual spatial intelligence)
Seorang anak dengan potensi kecerdasan visual mudah mengenali suatu tempat/wilayah, walau tempat itu mungkin baru dilihatnya di layar televisi atau darisebuah foto/gambar. Kecerdaan ini terkai dengan bidang seni rupa, arsitektur, navigasi, kemampuan pandang ruang. Peserta didik yang memiliki kecerdasan visual memiliki kemampuan untuk berimajinasi bentuk dalam pikirannya, menciptakan bentuk-bentuk berdimensi ruang (tiga dimensi) seperti mebuat patung, manekin, membuat desain bangunan dan sebagainya.
4.    Kecerdasan fisikal/gerak tubuh (kinesthetic intelligence)
Siswa dengan potensi kecerdasan ini sering menggunakan gerak tubuh untuk berkomunikasi dan menyatakan ekspresi diri. Kegiatan menari, berakrobat, berolahraga, dan lain-lain akan memperkuat potensi kecerdasan ini.
5.    Kecerdasan musikal (musical intelligence)
Peserta didik dengan potensi kecerdasan ini suka sekali mendengarkan nada dan irama yang merdu, mampu menciptakn sebuah lagu, mudah memainkan berbagai alat musik, mudah berfikir jika mendengar lagu-lagu yang lembut dan sebagainya.[31]
6.    Kecerdasan antar personal (interpersonal intelligence)
Seseorang yang memiliki potensikecerdasan ini mudah berkomunikasi dengn baik dengan orang lain, cocok bagiprofesi dengan masyarakat (public relation), diplomat, duta besar danlain-lain yang keberhasilannya amat bergantung pada kecakapan komunikasi antar manusia .
7.    Kecerdassan intrapersonal (intrapersonal intelligence)
Peserta didik dengan emampuan kecerdasanini cenderung senang melakukan introspeksi diri, merenungkan berbagai kekurangan dan kekuatannya, mengoreksi kelemahannya kemudian berupaya memperbaiki diri, memperkokoh kekuatannya untuk semakin membentuk karakter dirinya.
8.    Kecerdasan naturalis (naturalist intelligence)
Kecerdasn initerkait dengan kemampuan memahami lingkungan alam dengan baik,  kemampuan memahami vegetasi dan fauna dengan baik.
9.    Kecerdasan eksistensial (eksistensial intelligence)
Menyangkut kepekaan dankemampuan seseorang untuk menjawab pertanyaan tentang eksistensi dirinya sebagai makhluk manusia. Seorang filosof adalah contoh orang dengan kecerdasan eksistensial yang tinggi.[32]
Teori multiple intelegences diperkirakan dapat memberikan dampak terhadap pembelajaran terkait dengan:
1.    Kurikulum, kurikulum tradisional umumnya terlalu menitikberatkan pada pengembangan kecerdasan verbal-linguistik dan logika-matematik. Menurut gardner konten kurikulum harus diimbangi dan diperkaya dengan pembelajaran seni, kesadaran diri, komunikasi dan pendidikan jasmani. Di indonesia, saran Gardner ini umumnya sudah dilaksanakan kecuali mungkin pembelajaran tentang bagaimana melakukan komunikasi yang efektif serta membangkitkan kesadaran diri, misalnya melalui implementasi pendidikan karakter.
2.    Pengajaran, Gardner menyarankan praktik pengajaran yang memberdayakan semua jenis kecerdasan, misalnya dengan penerapan metode bermain peran, kehadiran musik di ruang kelas, pembelajaran kooperatif, penerapan refleksi pada akhir pembelajaran, visualisasi, misalnya dengan pembelajaran menggunakan media animasi atau pembelajaran di luar kelas, dan sebagainya.
3.    Penilaian, harus juga mengakomodasikan adanya perbedaan potensi kecerdasan di antara para siswa. Inilah hal yang paling sulit dan kompleks.[33]





















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Dalam belajar dan pembelajaran memiliki landasan teori yang dapat dijadikan pegangan. Diantara macam-macam teori belajar ialah:
a.    Teori konstruktivisme
Adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksi pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan kita tentang dunia tempat kita.
b.    Teori humanisme
Teori humanisme konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut.
2.    Model pembelajaran kontemporer yang berlandaskan dari teori belajar konstruktivisme dan humanisme ialah:
a.    Pembelajaran Quantum
Quantum Teaching and Learning adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansanya, serta menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar.
b.    Pembelajaran Multiple Intelegences
Merupakan suatu pembelajaran yang memanfaatkan berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik.


[1] Ridwan Abdullah sani, Inovasi Pembelajaran, (jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), hlm. 2
[2] Ibid.
[3] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2011), hlm. 104.
[4] Agus N Cahyo, Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), hlm. 22.

[5] Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hlm. 26.
[6] Hasan Basri, Paradigma Baru Sistem Pembelajaran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 47.
[7] Rusman, Pembelajaran Tematik Terpadu Teori, Praktik dan Penilaian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 49.
[8] M. Saekan Muchit, Isu-Isu Kontemporer dalam Pendidikan Islam (Kudus: STAIN Kudus, 2009), hlm. 69.
[9] Ibid., hlm.70.
[10] Ridlwan Abdullah sani, Inovasi Pembelajaran..., hlm. 22.
[11] Ibid., hlm. 24-25.
[12] Ibid., hlm. 26.
[13] Ibid., hlm. 26.
[14] Ibid., hlm. 26-27.
[15] Ibid., hlm. 28.
[16] Ibid., hlm. 31.
[17] Ibid., hlm. 35.
[18]Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Refrensi Bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 199.
[19] Mastuki HS dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2008), hlm. 170.
[20] Bobbi Deporter dkk, Quantum Teaching, diterj oleh. Ary Nilandari, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), hlm. 6.
[21] Mastuki HS dkk, Manajemen Pondok Pesantren..., hlm. 27
[22] Miftahul A’la, Quantum Teaching, (Yogyakarta: Diva Press, 2010), hlm. 34.
[23] Ibid., hlm. 35.
[24] Ibid., hm. 36-37.
[25] Ibid., hlm. 39-40.
[26] Suyono dan Hariyanto, Implementasi Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm.39.
[27] Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan Paradigmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 196.
[28] Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran..., hlm. 196.
[29] Suyono dan Hariyanto, Implementasi Belajar dan Pembelajaran..., hlm. 26.
[30] Ibid., hlm. 27.
[31] Ibid., hlm. 28.
[32] Ibid., hlm. 29-30.
[33] Ibid., hlm. 33.