MASAIL FIQHIYAH DALAM KONTEKS POLITIK
A. Latar
Belakang
Politik merupakan sebuah tahapan
dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan di dalam masyarakat
yang berguna sebagai pengambil kepiutusan-keputusan yang terkait dengan kondisi
masyarakat. Dalam dunia politik tentu didalamnya mencakup tentang kekuasaan,
kewenangan, dan pemerintahan bahkan ketatanegaraan.
Dalam Islam kita sering mendengar
adanya fiqih politik (fiqh siyasah) yang memberikan pandangan bahwa
syariat Islam disamping mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan manusia, juga mengatur tentang daulah (negara dan
pemerintahan). Pada masail fiqhiyah ini banyak sekali kita temukan permasalahan
yang terjadi di dunia politik. Diantara permasalahan itu yakni money politik,
wanita sebagai pemimpin, dan juga foto calon bupati di cover al-Quran.
Berangkat dari lalat belakang
diatas maka dalam makalah ini akan dibahas tentang “Masail Fiqhiyah dalam
Konteks Politik”.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana hakikat masail
fiqhiyah dalam konteks politik?
2.
Bagaimana contoh kasus
masail fiqhiyah dalam konteks politik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Masail Fiqhiyah
dalam Konteks Politik
Kata
fiqih berarti tahu, paham dan mengerti. Secara istilah fiqih adalah pengetahuan
tentang hukum-hukum yang sesuai dengan syara’ mengenai amal perbuatan yang
diperoleh tentang dalil-dalilnya yang rinci.[1]
Kata siyasah berasal dari kata sasa. Dalam kamus Al-Munjid siyasah berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Secara
terminology dalam bahasa Arab adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara
yang membawa kepada kemaslahatan.[2]
Secara
etimologis, politik berasal dari kata yunani polis yang berarti
kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang
berarti warga negara, politeia yang berarti semua yang berhubungan
dengan negara, politica yang berarti pemerintahan negara dan politicos
yang berarti kewarganegaraan.
Menurtu Cecep Darmawan, politik adalah segala sesuatu yang berkenaan
dengan negara termasuk didalamnya kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan
maupun pembagian dan pengalokasian nilai-nilai di dalam masyarakat yang
bersangkutan.[3]
Imam
Syafi’i memberi definisi siyasah adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’.
Politik dalam pengertian menangani permasalahan komunitas telah disyari’atkan
oleh Allah dan diperintahkan serta menjadi bagian tugas kerasulan.[4]
Sebagaimana firman Allah,
ôs)s9
$uZù=yör&
$oYn=ßâ
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/
$uZø9tRr&ur
ÞOßgyètB
|=»tGÅ3ø9$#
c#uÏJø9$#ur
tPqà)uÏ9
â¨$¨Y9$#
ÅÝó¡É)ø9$$Î/
( $uZø9tRr&ur
yÏptø:$#
ÏmÏù
Ó¨ù't/
ÓÏx©
ßìÏÿ»oYtBur
Ĩ$¨Z=Ï9
zNn=÷èuÏ9ur
ª!$#
`tB
¼çnçÝÇZt
¼ã&s#ßâur
Í=øtóø9$$Î/
4 ¨bÎ)
©!$#
;Èqs%
ÖÌtã
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa. (QS.al-Hadid: 25).[5]
Jadi,
Fiqih Siyasah adalah hukum-hukum Islam yang digali dari sumber yang sama dan ditetapkan
untuk mewujudkan kemaslahatan.[6]
Jadi dapat disimpulkan bahwa masail fiqhiyah
dalam konteks politik yaitu segala permasalahan yang berkaitan dengan
kekuasaan, pemerintahan, atau ketatanegaraan dengan segala bentuk hukum
kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan dengan berdasar pada ajaran
atau nilai-nilai agama demi kemaslahatan masyarakat.
Hukum-hukum yang terdapat dalam fiqh
sekarang ini adalah ijtihad para mujtahidin, yang belum tentu sama dengan
situasi dan kondisi dari zaman dan masyarakat kita sekarang ini.[7]
Dalam lingkup ilmu Ushul Fiqh para
ilmuwan kemudian berhasil merumuskan sejumlah al-Qawa’id-u’l ‘l-Fiqhiyah (kaidah-kaidah Fiqh), yang diantaranya
adalah:
الأموار
بمقاصدها
1.
Penilaian terhadap
sesuatu itu tergantung tujuannya.
تغير
الأحكام بتغير الأ زمنة والأ كمنة و العرف
2.
Pelaksanaan hukum dapat
berubah karena perbedaan zaman, tempat dan adat istiadat.
الحكم
يدور مع علته وجودا وعداما
3.
Hukum itu bersifat
bersama alasannya, ada dan tidak adanya alasan.
اذا
زال السبب زال المسبب
4.
Kalau tidak ada lagi
alasan mengapa dahulu suatu hukum diundangkan maka gugur pula hukum ini
العرف
اصل من اصول الأحكام
5.
Adat istiadat itu harus
ikut dipertimbangkan dalam perumusan hukum
العادة
محكمة
6.
Adat itu merupakan
sendi-sendi hukum.[8]
B.
Contoh Kasus Masail
Fiqhiyah dalam Konteks Politik
1.
Money Politics
a.
Masalah
Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksaan Kekayaan
Pejabat Negara (KPKPN), banyak pejabat kita disemua lembaga negara maupun
perusahaan pemerintah, yang kekayaannya berasal dari “hibah”, untuk menghindari
kesan bahwa kekayaan tersebut didapat dengan cara melanggar hukum.[9]
Sementara itu, kita juga melihat semakin maraknya praktek apa yang disebut money politics, yakni sebuah hibah atau
pemberian (berupa uang atau materi lainnya) yang dilakukan oleh seseorang
kepada pihak lain dalam rangka meraih jabatan atau tender proyek tertentu. Bagaimana pandangan syariat Islam terhadap
tindakan money poitics?
Jawaban:
Money politics sebagai pemberian (berupa uang atau denda lainnya) untuk
mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif. Dalam
pandangan syariat Islam hal itu merupakan suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah, baik yang memberi (rasyi) ataupun yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara
(raaisy).[10]
Dasar pengambilan hukum
Pendapat para ulama
tentang sesuatu yang yang diberikan para penguasa kepada para tokoh masyarakat,
pejabat, hakim, penguasa pemerintahan, dan mereka yang mengemban tanggung jawab
urusan kaum muslimin, bisa jadi merupakan suap atau hadiah. Adapun suap
hukumnya haram. Pemberian tersebut wajib dikembalikan pada
pemiliknya dan tidak boleh dimasukkan ke dalam kas negara kecuali pemiliknya
tidak diketahui sehingga seperti status barang hilang, menurut sebagian fuqaha
mutaakhirin, maka harta tersebut boleh disimpan di kas negara. [11]
Yang dimaksud dengan
suap yang kami sebutkan di atas adalah segala sesuatu yang diberikan dalam
rangka menolak kebenaran atau untuk menghasilkan kebatilan. Jika anda diberi
agar disampaikan kepada penguasa untuk suatu hak atau kebenaran, maka hukum haram juga tetap berlaku pada yang menerimanya. Adapun
orang yang memberikan suap, jika ia tidak sampai kepada haknya kecuali dengan
jalan memberikan suap, maka diperbolehkan, namun jika ia mampu mendapatkan
haknya dengan tanpa memberikan suap, maka tidak diperbolehkan.[12]
2.
Wanita sebagai Pemimpin
Peran Perempuan dalam Politik
Dalam
mayoritas ahli fiqh konservatif, peran politik dalam arti amar ma’ruf nahi munkar antara kaum laki-laki dan perempuan memang
diakui sebagai memiliki hak dan kewajiban yang sama. Akan tetapi, dalam arti
politik praktis yang di dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat
menyangkut masyarakat luas, seperti pengambilan keputusan dalam peradilan,
lembaga legislatif, menurut kebanyakan ulama, tidak dapat diberlakukan sacara
sama.[13]
Fatwa
yang dikeluarkan oleh Universitas al-Azhar
menyebutkan:
“Syari’at Islam melarang kaum perempuan menduduki
jabatan yang meliputi kekuasaan-kekuasaan umum (public). Yang dimaksud kekuasaan
umum dalam fatwa di atas adalah kekuasaan memutuskan atau memaksa dalam
urusan-urusan kemasyarakatan, seperti kekuasaan kehakiman, dan kekuasaan
melaksanakan undang-undang.”[14]
a. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan tertinggi
dan termasuk dalam wilayah kekuasaan publik. Kekuasaan ini bersifat memaksa.
Para ahli fiqh menyebutkan beberapa persyaratan yang disepakati, yaitu:
beragama Islam, berakal, dewasa, merdeka, adil, dan memahami hukum-hukum
syari’at. Sementara persyaratan jenis kelamin diperdebatkan. Ada tiga pandangan
ulama mengenai syarat yang terakhir ini.
Pertama, Malik
bin Anas, asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Habal menyatakan bahwa jabatan ini
haruslah diserahkan kepada laki-laki dan tidak boleh perempuan. Menurut mereka
seorang hakim disamping harus menghadiri siding-sidang terbuka, yang di
dalamnya terdapat kaum laki-laki, ia juga harus memiliki kecerdasan akal yang
prima. Padahal menurut mereka kecerdasan perempuan berada di bawah kecerdasan
laki-laki.[15]
Selain itu perempuan akan berhadapan dengan laki-laki. Kehadiran seperti ini
akan menimbulkan fitnah (gangguan).
Argumen lain yang dikemukakan golongan ini adalah
fakta sejarah. Nabi dan khulafaur rasyidin, dan penguasa-penguasa Islam
sesudahnya, tidak pernah memberikan kekuasaan kepada perempuan. Sejarah Islam
tidak pernah membuktikan ada perempuan pada jabatan ini.
Pendapat kedua dikemukakan mazhab Hanafi dan
Ibn Hazm azh-Zhahari. Mereka mengatakan bahwa laki-laki bukanlah syarat mutlak
untuk kekuasaan kehakiman. Perempuan boleh saja, ia hanya diperbolehkan
mengadili perkara-perkara di luar pidana berat (hudud dan qishas). Alasan mereka karena perempuan juga dibenarkan
menjadi saksi untuk perkara-perkara tadi. Selain itu, hakim bukanlah penguasa.
Tugasnya hanya melaksanakan dan menyampaikan hukum agama, fungsinya sama
seperti mufti (pemberi fatwa hukum). Selain itu, golongan ini juga menolak
hadits mengenai kepemimpinan negara sebagai dasar hukum untuk fungsi yudikatif.[16]
Ibn Hazm menambahkan bahwa Umar bin Khatab pernah memerintahkan perempuan
sebagai bendahara pasar.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa perempuan
boleh menjadi hakim untuk menangani berbagai perkara. Selain itu, laki-laki
juga bukan syarat bagi kekuasaan kehakiman. Inilah pendapat Ibn Jarir ath
Thabari dan Hasan al-Bashri. Bagi mereka, jika perempuan bisa menjadi mufti,
adalah logis jika perempuan bisa menjadi hakim. Akan tetapi pendapat ketiga ini
ditolak oleh al-Mawardi. Menurutnya, pendapat Ibn Jarir tersebut telah
menyimpang dari konsensus ulama. Selain itu juga berlawanan dengan teks
al-Qur’an yaitu pada QS. An-Nisa: 34.[17]
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ….
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”[18]
b. Kekuasaan Legislatif
Kaum
wanita sekarang mulai terpengaruh dengan kebudayaan barat dan para penganut
aliran barat dalam mas’alah kaum wanita, lalu mereka mengajukan tuntutan agar
supaya wanita itu diberi hak yang sama dengan hak laki-laki dibidang politik
dan akhirnya muncullah hak memilih dan dipilh, untuk ikut serta duduk dalam
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[19]
Sebenarnya
wanita itu mencapai hak memilih dan dipih, ini bukanlah dengan kemauan yang
murni dari suatu bangsa yang merdeka tetapi sebenarnya kaum wanita mencapai
hak-haknya itu dalam suasana mendungnya kehidupan di DPR itu, dan terjadinya perubahan
besar-besaran dalam bidang ketenteraman, dan mungkin juga berasal dari
ketentuan sesorang yang memerintah secara diktator. Lalu bagaimanakah sikap
Islam dalam menghadapi kenyataan ini?.
1)
Hak memilih
Pekerjaan memilih itu adalah tugas
mengangkat wakil. Seseorang pergi ke tempat pemungutan suara lalu mereka
memasukkan suaranya ke kotak suara, untuk memilih wakil mereka, yang berbicara
atas nama mereka dan mempertahankan hak-hak mereka. Dalam Islam, itu tidak
dilarang. Yang dilarang dalam memberikan hak memilih itu kaum wanita bercampur
aduk dengan kaum pria saat pemungutan suara dan mengajukan calon, sehingga terjadilah
hal-hal yang diharamkan dalam Islam, seperti bercampurnya laki-laki dan wanita,
memamerkan kaum wanita itu dihadapan orang ramai, dan membuka auratnya yang
sebenarnya diperintahkan untuk menutupnya.[20]
2)
Hak dipilih
Tugas wakil-wakil
rakyat itu ada dua tugas yang penting yaitu:
a) Menetapkan
Undang-Undang: baik Undang-undang Dasar Negara atau Peraturan Pemerintah.
b) Mengawasi
jalannya pemerintahan: mengawasi kekuasaan eksekutif dalam segala perbuatan dan
tindakannya.[21]
Mengenai
tugas menetapkan Undang-Undang (UU), sebenarnya dalam Islam tidak ada sesuatu
ajaran yang mencegah kaum wanita untuk menjadi pembuat UU, karena membuat UU
itu membutuhkan ilmu pengetahuan yang luas serta mendalami kebutuhan masyarakat,
dan hal-hal yang sangat mendesak bagi masyarakat, yang kira-kira tidak dapat
ditangguhkan lagi.
Islam
sudah memberikan hak menuntut ilmu, kepada laki-laki dan perempuan. sebagai
hasilnya, sejarah Islam kita pernah memuat nama-nama wanita yang menonjol dalam
ilmu Hadits, Fiqh dan kesusasteraan Arab dan ilmu lainnya.
Disamping
itu, tugas mengawasi kekuasaan eksekutif, maka sebenarnya tugas itu tidak lain
dari perbuatan menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk.[22]
Sedang kaum pria dan wanita itu sama dalam pandangan Islam, seperti Firman
Allah :
bqZÏB÷sßJø9$ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# …
Artinya: “Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi pemimpin dari sebagian yang lain, mereka sama menyuruh orang berbuat
baik, dan melarang orang berbuat kejahatan….” (Q.S. At-Taubat: 71).[23]
Dari ayat ini, bahwa dalam ajaran Islam tidak
ada larangan yang menyebabkan wanita kehilangan haknya menjadi wakil rakyat,
baik untuk membuat UU ataupun mengawasi pelaksanaannya. Tetapi kalau kita
meninjau dari segi lain, maka akan kita ketemukan bahwa prinsip dan peraturan
umum dalam Islam membendung kaum wanita untuk mempergunakan haknya ini, bukan
karena kurang kecakapannya tetapi karena hal-hal yang bersangkutan dengan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam tugasnya sebagai wakil rakyat,
mengharuskan wanita itu untuk meninggalkan rumahtangganya sepanjang hari, dan
juga kadang-kadang sampai malam, dan juga keharusan wanita bergaul dengan
laki-laki sesama wakil rakyat, di ruang sidang DPR, dan disana wanita itu
terpaksa membukakan bagian badannya, dan perhiasannya yang sebenarnya haram
menunjukkannya.
Hal-hal semacam ini, tentu saja
kaum muslimin yang mengatakan bahwa perkara-perkara itu tidak boleh. Jadi,
wanita ditinjau dari segi keahliannya dan kecakapannya sebenarnya tidak
dilarang oleh Islam untuk menduduki jabatan wakil rakyat, tetapi dari segi
tugasnya sebagai wakil rakyat ternyata menyebabkan wanita itu terpaksa terlibat
dan terjerumus untuk mengerjakan hal-hal yang dilarang dalam Islam.[24]
3)
Keputusan yang tegas
Ikut sertanya kaum
wanita untuk aktif dibidang politik, fakta ini dihadapi oleh Islam dengan sikap
sangat tidak setuju, jika tidak kita katakan haram. Hal ini bukan karena kaum
wanita itu kurang kecakapannya, karena wanita akan mengalihkan perhatiannya
dari memikirkan kesejahteraan rumah tangganya dengan tenang dan tenteram.[25]
c. Deskontruksi Fiqh Presiden
Perempuan
Sampai saat
ini belum diketahui adanya penadapat para ahli fiqh terkemuka yang membenarkan
perempuan menjabat sebagai kepala negara. Sementara Wahbah az-Zuhaili
mengatakan bahwa laki-laki sebagai syarat bagi seorang Imam (presiden) adalah
sudah merupakan kesepakatan (ijma’) para ulama ahli fiqh. Pada kesempatan lain
ia juga mengatakan:
“Tidak sah perempuan menduduki jabatan al-Imamah al-Uzhma
(kepala Negara) dan Gubernur. Nabi Saw, Khulafa ar-Rasyidin, dan penguasa
sesudah Islam juga tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan
gubernur.[26]
Argument untuk seluruh persoalan yang terkait
dengan peran perempuan di atas, pertama-tama mengacu pada QS. An Nisa: 34.
Sebagai contoh, ar Razi mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki
meliputi dua hal: ilmu pengetahuan dan kemampuan fisik.[27]
Ath-Thabathaba’I berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah
karena laki-laki memiliki kemampuan berfikir yang tinggi, melahirkan
keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara
perempuan lebih sensitive dan emosional. Realitas sosial membuktikan bahwa
telah banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap
hanya bisa dilakukan dan sekaligus dimonopoli kaum laki-laki.[28]
Kalau begitu, bagaimana kita menyikapi QS.an Nisa’:
34 diatas. Berangkat dari wacana pemikiran fiqh sebagaimana dikemukakan pada
awal tulisan ini maka ayat ini harus dipahami secara sosiologis dan kontekstual.[29]
3.
Foto Calon Bupati di
Cover al-Quran
Tashawwur Al-Masalah
Al-Qur’an
adalah kitab suci umat Islam yang wajib di muliakan, sehingga segala aktivfitas
yang bersinggung dengan Al-Qur’an diperlukan adab dan etika dalam membawa,
meletakkan, membaca, bahkan menyentuhnya sekalipun. Namun akhir-akhir ini ada
beberapa fenomena janggal mengenai kitab suci kita, seperti beberapa waktu lalu
ada calon bupati yang menggunakan Al-Qur’an sebagai media publikasi dengan
memasang fotonya di sampul luar Al-Qur’an dan membagikannya pada masyarakat.
Al-As’ilah
Apakah dibenarkan perilaku salah satu calon bupati
yang memasang fotonya di sampul mushaf Al-Qur’an?
Al-Mizan dan Al-Ajwibah
Al-Qur’an
kalamullah, mukjizat terbesar
sepanjang sejarah kenabian, sekaligus penuntun umat Islam. Tingginya derajat
yang dimiliki Al-Qur’an menuntut untuk selalu dijaga dari hal-hal yang bersifat
meremehkan atau menghinanya. Bahkan dapat berdampak pada kekufuran ketika tidak
menjaganya dari hal-hal yang bersifat menghina, karena merupakan tindakan
pelecahan terhadap agama.
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ. مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ. بِأَيْدِي سَفَرَةٍ .كِرَامٍ بَرَرَةٍ
Artinya : “Di
dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan
para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. ‘Abasa: 13-16).[30]
Kemuliaan
Al-Qur’an menuntut kita selalu menjaga etika dalam menyentuhnya. Sebagaimana
para malaikat dalam menyentuhnya sebelum kita, kita dituntut untuk berada dalam
keadaan suci.
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ .لا يَمَسُّهُ إِلا
الْمُطَهَّرُونَ.
Artinya : “Pada
Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 78-79).[31]
Pada
dasarnya suatu perbuatan dapat dianggap meremahkan dipandang dari berbagai
sudut. Diantaranya, melalui tanda-tanda yang menganggap hal yang dilakukan
tergolong meremahkan, seperti, meletakkannya ditempat yang menjijikkan atau
menjalarkan kaki kedepannya. Selain itu juga memandang kondisi fisik seseorang,
seperti, seseorang kehilangan tangan kanannya tidak dianggap meremahkan
Al-Qur’an ketika menulisnya dengan tangan kiri. Namun jika sesorang yang tidak
cacat fisik menulisnya dengan tangan kiri maka hal ini tergolong tindakan yang
meremahkan Al-Qur’an.
Seperti dalam permasalahan di atas
seorang calon bupati yang memasang fotonya dibagian sampul Al-Qur’an, tindakan
tersebut dapat dihukumi tergantung pada apakah hal itu termasuk hal yang
melecehkan Al-Qur’an atau tidak. Diperbolehkan selama tidak ada unsur
penghinaan terhadap Al-Qur’an.[32]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Masail Fiqhiyah dalam konteks
politik yaitu segala permasalahan yang berkaitan dengan kekuasaan,
pemerintahan, atau ketatanegaraan dengan segala bentuk hukum kebijaksanaan yang
dibuat oleh pemegang kekuasaan dengan berdasar pada ajaran atau nilai-nilai
agama demi kemaslahatan masyarakat.
2.
Berbagai macam permasalah masail
fiqhiyah dalam konteks politik daintaranya money
politik, wanita sebagai pemimpin, dan juga foto calon bupati di cover al-Quran
yaitu :
a.
Money politik Money politics sebagai pemberian (berupa uang atau denda lainnya) untuk mempengaruhi
dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif. Dalam pandangan
syariat Islam hal itu merupakan suap (risywah)
yang dilaknat oleh Allah, baik yang memberi (rasyi) ataupun yang menerima (murtasyi),
maupun yang menjadi perantara (raaisy).
b.
Wanita sebagai pemimpin, mayoritas ahli fiqh konservatif, peran politik
dalam arti amar ma’ruf nahi munkar
antara kaum laki-laki dan perempuan memang diakui sebagai memiliki hak dan
kewajiban yang sama. Akan tetapi, dalam arti politik praktis yang di dalamnya
diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat menyangkut masyarakat luas,
seperti pengambilan keputusan dalam peradilan, lembaga legislatif, menurut
kebanyakan ulama, tidak dapat diberlakukan sacara sama. Permasalahan ini harus
dipahami secara sosiologis dan kontekstual.
c.
Foto calon bupati di
al-Quran diperbolehkan
selama tidak ada unsur penghinaan terhadap Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
dan terjemah bahasa Indonesia. Kudus. Menara Kudus. 2006.
Darmawan, Cecep. Pengantar Ilmu
Politik. Bandung. Laboratorium PKn UPI. 2009.
Miri, Djamaluddi. Ahkamul Fuqaha
(Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes
Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: Khalista. 2007.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender).Yogyakarta. LKiS Pelangi Aksara. 2001.
Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran).
Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1995.
Sibary, Mustafa A. Wanita: diantara Hukum Islam dan
Perundang-Undangan,. Jakarta. Bulan Bintang. 1972.
Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta. Paramadina.
1997.
Takariawan, Cahyadi. Fikih Politik Perempuan. Solo. Era
Intermedia. 2003.
http://www.jejakislam.com/2013/12/pasang-foto-di-al-quran.html
diakses pada hari Selasa, 12 april 2016 di STAIN Kudus jam 12.06 WIB.
[1] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 22.
[2] Ibid., hlm. 22-23.
[3] Cecep Darmawan, Pengantar Ilmu
Politik, (Bandung: Laboratorium PKn UPI, 2009), hlm. 11.
[5] Al-Qur’an dan terjemah bahasa Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 541.
[6] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah ..., hlm. 27.
[7]
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hlm. 49.
[8] Ibid., hlm. 49-50.
[9] Djamaluddin
Miri, Ahkamul Fuqaha (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan
Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), (Surabaya:
Khalista, 2007), hlm. 694-695.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 696.
[12] Ibid.
[13] Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai
atas Wacana Agama dan Gende), (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001), hlm.
188.
[19] Mustafa A Sibary, Wanita: diantara Hukum Islam dan
Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 221.
[20] Ibid., hlm. 222.
[21] Ibid., hlm. 223.
[22] Ibid., hlm. 223-224.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 231.
[32] http://www.jejakislam.com/2013/12/pasang-foto-di-al-quran.html
diakses pada hari Selasa, 12 april 2016 di STAIN Kudus jam 12.06 WIB.
No comments:
Post a Comment