Pondok Pesantren dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)
di Kajen Margoyoso Pati
Kajen, siapa yang tak mengenal desa Kajen. Tepatnya di daerah
sekitar Pesisir Pantai Utara (Pantura) kabupaten Pati. Mungkin memang tak
banyak yang mengenal desa ini. Namun tak sedikit pula masyarakat yang
mengetahui desa ini. Bahkan menjadikan desa Kajen sebagai tujuan untuk mencari
seberkas cahaya untuk menunju insan yang mulia. Ilmu keagamaan yang mampu
menunjukkan manusia pada kebenaran yang hakiki. Yaitu ilmu yang bernafaskan
Islam, karena memang desa Kajen sangat kental dengan nuansa Islami.
Daya tarik dari desa Kajen ini bukan karena pemandangan dari desa
ini, ataupun tempat wisata yang menarik. Bukan. Daya tarik atau kharisma
tersebut hadir secara alami sebab banyaknya cahaya ilmu agama yang menyelimuti
hampir seluruh desa ini. Cahaya ilmu agama tersebut bermuara pada tempat yang
menangui keberadaan ilmu agama tadi, yaitu pondok pesantren. Terdapat hampir
ratusan pondok pesantren yang berdiri di desa Kajen.
Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren.
Kata pondok diturunkan dari kosakata arab “funduq” yang berarti ruang
tidur, wisma, pemondokan. Sedangkan kata pesantren terdiri dari asal kata
“santri” dengan awalan “pe” dan “an”, yang menunjukkan suatu tempat, jadi
pesantren berarti “tempat para santri”. Sehingga pondok pesantren dapat
dipahami sebagai tempat pemondokan yang digunakan untuk bernaung oleh para
santri dalam menimba ilmu pengetahuan agama dan mengamalkannya dalam bentuk
ritual kegiatan sehari-hari kepada para Kyai. Maka, dalam mendalami tentang
potret pondok pesantren tak dapat lepas dari cikal bakal dan sejarahnya yang
harus diketahui.
Sejarah proses tipologi berdirinya pondok pesantren sangat
sederhana. Kegiatan pengajian di selenggarakan di dalam surau
(musholla), ataupun masjid. Sedangkan Kyai sebagai guru dan beberapa orang
santri sebagai muridnya. Seorang Kyai tersebut biasanya sudah pernah menjalani rihlah
ilmiah (perjalanan keilmuan) untuk mengais ilmu di berbagai tempat. Paling
tidak, pernah bermukim bertahun-tahun untuk mengaji dan mendalami ilmu pengetahuan
agama Islam
Dalam perkembangan Islam, sejak para ulama’
menjadi pimpinan pesantren mendirikan masjid di tengah-tengahnya, mengajarkan
agama Islam dengan menggunakan Al-Qur’an dan hadits. Selain Al-Qur’an dan
Hadits, kitab-kitab klasik diguakan sebagai sumber ilmu yang dipelajarinya.
Sehingga kehidupan santri syarat akan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dalam
kesehariannya. Adapun guru terutama pimpinan pesantren biasanya mendapat
sebutan Kyai sebagai penghormatan karena mempunyai keahlian di bidang ilmu
agama, serta kepemimpinan dan keshalehan yang luar biasa (Sadikun, 1980 : 60).
Dinamika dan perkembangan pondok pesantren mengalami pasang surut
dikarenakan situasi zaman yang dilalui sangat beragam dan berbeda. Sebagai
sistem lembaga pendidikan yang hadir dalam dominasi mayoritas penganut
Hindu-Budha di abad 14-18 pondok pesantren menghadapi kekuatan Kerajaan
nusantara Hindu Kuno dengan pendekatan local wisdom(kearifan lokal)
sehingga pertentangan di tingkat masyarakat bawah tidak sebesar dengan pertentangan
raja-raja nusantara kuno, justru masyarakat lama kelamaan menaruh simpati dan
bisa menerima pondok pesantren dengan baik (Mu Yappi, 2008 : 38).
Mungkin saja saya terlalu berlebihan menggambarkan tentang pondok
pesantren dan berbagai sejarah yang meliputinya. Hal yang menjadi acuan dalam
penggambaran tentang pondok pesantren adalah yang mana pondok pesantren sebagai
tempat bernaungnya cahaya ilmu keagamaan disana. Ada salah satu ungkapan yang
menyatakan bahwa dunia akan menjadi gelap seiring dengan wafatnya orang yang
ahli ilmudalam arti seorang Kyai. Jadi bisa dikatakan bahwa meredupnya sinar
ilmu keagamaan karena pengaruh hilangnya (wafatnya) tokoh yang menjadi cahaya
yang menerangi suatu tempat bermuaranya ilmu dan daerah sekitarnya.
Banyak terjadi di masa dahulu, tokoh Kyai menjadi perintis cikal
bakal pembentukan masyarakat desa baru, sehingga pengaruhnya amat besar
terhadap masyarakat di sekitarnya. Apalagi sudah terbukti bahwa di dalam sosok
Kyai terdapat hal yang menjadi personifikasi sifat-sifat mulia atau keramat
yang disandang, sehingga menjadikan Kyai tersebut tokoh pimpinan yang
kharismatik.
Tak berlebihan jika saya menyebut desa Kajen sebagai salah satu
tempat dimana bersarangnya cahaya ilmu keagamaan bagi masyarakat sekitarnya. Terbukti
dengan banyaknya pondok pesantren yang berdiri disana, dan santrinya pun
semakin hari semakin bertambah saja. Entah sudah berapa ribu santri yang
bermukim disana. Hampir seluruh kehidupan masyarakat Kajen berbaur dengan dunia
pesantren yang lekat dengan ritual keagamaan Islam dan ritual pembelajaran
keagamaan. Berbaur dengan harmonis di dalamnya. Berbaur dengan pondok, masjid,
Kyai serta santri yang menjadi unsur utamanya.
Diantara tokoh pondok pesantren yang terkenal hingga saat ini
adalah K.H Sahal Mahfudz, K.H. Abdullah Salam, K.H. Nafi’ Abdullah dan masih
banyak lagi tokoh yang berpengaruh disana. Kesemuanya adalah para dzurriyah(keturunan)
sang perintis desa Kajen. Tokoh yang menjadi cikal bakal desa Kajen yaitu K.H.
Ahmad Mutammakin, seorang hamba Allah yang terkenal dengan ilmu dan karomah-nya.
Eksistensi pondok pesantren di desa Kajen hingga kini masih tetap
ada karena para cucu mbah K.H. Ahmad Mutammakin masih menjalankan kearifan
lokal (local wisdom) yang diajarkan mbah K.H. Ahmad Mutammakin, sehingga
masih tetap lestari hingga saat ini. Kearifan lokal tersebut terukir jelas pada
mimbar yang terdapat di Masjid Jami’ Kajen. Masjid yang terdapat di jantung
desa Kajen. Dalam ukiran tersebut, terdapat gambar burung yang sedang mematuk
bulan sabit. Arti filsafat gambar tersebut memberi pesan kepada keturunan mbah
K.H. Ahmad Mutammakin agar memiliki cita-cita setinggi bulan dengan usaha
setinggi bulan.
Selain
itu, dalam mimbar tersebut terdapat ukiran naga yang tak utuh seluruh tubuhnya.
Ukiran tersebut memberi pesan kepada keturunan dan masyarakat Kajen harus dapat
bertahan hidup seperti ular, yang mana ular betah bertahan untuk tidak makan
berhari-hari. Terbukti dengan kehidupan masyarakat Kajen yang mayoritas
tercukupi, padahal tak ada areal persawahan sebagai tempat bercocok tanam.
Masyakakat Kajen mengandalkan hidupnya bukan sebagai petani melainkan sebagai
pedagang. Persis seperti mata pencaharian para ulama’ yang membawa agama Islam
di Pesisir Pantai Utara (Pantura).
No comments:
Post a Comment