Tuesday 24 May 2016

Agama: Pondok Pesantren dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kajen Margoyoso Pati



Pondok Pesantren dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)
di Kajen Margoyoso Pati
Kajen, siapa yang tak mengenal desa Kajen. Tepatnya di daerah sekitar Pesisir Pantai Utara (Pantura) kabupaten Pati. Mungkin memang tak banyak yang mengenal desa ini. Namun tak sedikit pula masyarakat yang mengetahui desa ini. Bahkan menjadikan desa Kajen sebagai tujuan untuk mencari seberkas cahaya untuk menunju insan yang mulia. Ilmu keagamaan yang mampu menunjukkan manusia pada kebenaran yang hakiki. Yaitu ilmu yang bernafaskan Islam, karena memang desa Kajen sangat kental dengan nuansa Islami.
Daya tarik dari desa Kajen ini bukan karena pemandangan dari desa ini, ataupun tempat wisata yang menarik. Bukan. Daya tarik atau kharisma tersebut hadir secara alami sebab banyaknya cahaya ilmu agama yang menyelimuti hampir seluruh desa ini. Cahaya ilmu agama tersebut bermuara pada tempat yang menangui keberadaan ilmu agama tadi, yaitu pondok pesantren. Terdapat hampir ratusan pondok pesantren yang berdiri di desa Kajen.
Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren. Kata pondok diturunkan dari kosakata arab “funduq” yang berarti ruang tidur, wisma, pemondokan. Sedangkan kata pesantren terdiri dari asal kata “santri” dengan awalan “pe” dan “an”, yang menunjukkan suatu tempat, jadi pesantren berarti “tempat para santri”. Sehingga pondok pesantren dapat dipahami sebagai tempat pemondokan yang digunakan untuk bernaung oleh para santri dalam menimba ilmu pengetahuan agama dan mengamalkannya dalam bentuk ritual kegiatan sehari-hari kepada para Kyai. Maka, dalam mendalami tentang potret pondok pesantren tak dapat lepas dari cikal bakal dan sejarahnya yang harus diketahui.
Sejarah proses tipologi berdirinya pondok pesantren sangat sederhana. Kegiatan pengajian di selenggarakan di dalam surau (musholla), ataupun masjid. Sedangkan Kyai sebagai guru dan beberapa orang santri sebagai muridnya. Seorang Kyai tersebut biasanya sudah pernah menjalani rihlah ilmiah (perjalanan keilmuan) untuk mengais ilmu di berbagai tempat. Paling tidak, pernah bermukim bertahun-tahun untuk mengaji dan mendalami ilmu pengetahuan agama Islam
Dalam perkembangan Islam, sejak para ulama’ menjadi pimpinan pesantren mendirikan masjid di tengah-tengahnya, mengajarkan agama Islam dengan menggunakan Al-Qur’an dan hadits. Selain Al-Qur’an dan Hadits, kitab-kitab klasik diguakan sebagai sumber ilmu yang dipelajarinya. Sehingga kehidupan santri syarat akan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dalam kesehariannya. Adapun guru terutama pimpinan pesantren biasanya mendapat sebutan Kyai sebagai penghormatan karena mempunyai keahlian di bidang ilmu agama, serta kepemimpinan dan keshalehan yang luar biasa (Sadikun, 1980 : 60).
Dinamika dan perkembangan pondok pesantren mengalami pasang surut dikarenakan situasi zaman yang dilalui sangat beragam dan berbeda. Sebagai sistem lembaga pendidikan yang hadir dalam dominasi mayoritas penganut Hindu-Budha di abad 14-18 pondok pesantren menghadapi kekuatan Kerajaan nusantara Hindu Kuno dengan pendekatan local wisdom(kearifan lokal) sehingga pertentangan di tingkat masyarakat bawah tidak sebesar dengan pertentangan raja-raja nusantara kuno, justru masyarakat lama kelamaan menaruh simpati dan bisa menerima pondok pesantren dengan baik (Mu Yappi, 2008 : 38).
Mungkin saja saya terlalu berlebihan menggambarkan tentang pondok pesantren dan berbagai sejarah yang meliputinya. Hal yang menjadi acuan dalam penggambaran tentang pondok pesantren adalah yang mana pondok pesantren sebagai tempat bernaungnya cahaya ilmu keagamaan disana. Ada salah satu ungkapan yang menyatakan bahwa dunia akan menjadi gelap seiring dengan wafatnya orang yang ahli ilmudalam arti seorang Kyai. Jadi bisa dikatakan bahwa meredupnya sinar ilmu keagamaan karena pengaruh hilangnya (wafatnya) tokoh yang menjadi cahaya yang menerangi suatu tempat bermuaranya ilmu dan daerah sekitarnya.
Banyak terjadi di masa dahulu, tokoh Kyai menjadi perintis cikal bakal pembentukan masyarakat desa baru, sehingga pengaruhnya amat besar terhadap masyarakat di sekitarnya. Apalagi sudah terbukti bahwa di dalam sosok Kyai terdapat hal yang menjadi personifikasi sifat-sifat mulia atau keramat yang disandang, sehingga menjadikan Kyai tersebut tokoh pimpinan yang kharismatik.    
Tak berlebihan jika saya menyebut desa Kajen sebagai salah satu tempat dimana bersarangnya cahaya ilmu keagamaan bagi masyarakat sekitarnya. Terbukti dengan banyaknya pondok pesantren yang berdiri disana, dan santrinya pun semakin hari semakin bertambah saja. Entah sudah berapa ribu santri yang bermukim disana. Hampir seluruh kehidupan masyarakat Kajen berbaur dengan dunia pesantren yang lekat dengan ritual keagamaan Islam dan ritual pembelajaran keagamaan. Berbaur dengan harmonis di dalamnya. Berbaur dengan pondok, masjid, Kyai serta santri yang menjadi unsur utamanya.
Diantara tokoh pondok pesantren yang terkenal hingga saat ini adalah K.H Sahal Mahfudz, K.H. Abdullah Salam, K.H. Nafi’ Abdullah dan masih banyak lagi tokoh yang berpengaruh disana. Kesemuanya adalah para dzurriyah(keturunan) sang perintis desa Kajen. Tokoh yang menjadi cikal bakal desa Kajen yaitu K.H. Ahmad Mutammakin, seorang hamba Allah yang terkenal dengan ilmu dan karomah-nya.
Eksistensi pondok pesantren di desa Kajen hingga kini masih tetap ada karena para cucu mbah K.H. Ahmad Mutammakin masih menjalankan kearifan lokal (local wisdom) yang diajarkan mbah K.H. Ahmad Mutammakin, sehingga masih tetap lestari hingga saat ini. Kearifan lokal tersebut terukir jelas pada mimbar yang terdapat di Masjid Jami’ Kajen. Masjid yang terdapat di jantung desa Kajen. Dalam ukiran tersebut, terdapat gambar burung yang sedang mematuk bulan sabit. Arti filsafat gambar tersebut memberi pesan kepada keturunan mbah K.H. Ahmad Mutammakin agar memiliki cita-cita setinggi bulan dengan usaha setinggi bulan.
Selain itu, dalam mimbar tersebut terdapat ukiran naga yang tak utuh seluruh tubuhnya. Ukiran tersebut memberi pesan kepada keturunan dan masyarakat Kajen harus dapat bertahan hidup seperti ular, yang mana ular betah bertahan untuk tidak makan berhari-hari. Terbukti dengan kehidupan masyarakat Kajen yang mayoritas tercukupi, padahal tak ada areal persawahan sebagai tempat bercocok tanam. Masyakakat Kajen mengandalkan hidupnya bukan sebagai petani melainkan sebagai pedagang. Persis seperti mata pencaharian para ulama’ yang membawa agama Islam di Pesisir Pantai Utara (Pantura).

No comments:

Post a Comment