Tuesday 24 May 2016

MASALAH WARIS



MASALAH WARIS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang 

Syari’at  islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

A.    Permasalahan
1.      Bagaimana hukumnya membagi harta warisan sebelum meninggal dunia?
2.      Bagaimana jika terjadi dilema dalam pembagian harta warisan?
3.      Bagaimana pembagian harta warisan bagi banci (Khuntsa)?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Membagi Harta Warisan Sebelum Meninggal Dunia
1.      Deskripsi
Harta warisan merupakan hak milik seseorang yang meninggal dunia, yang dapat dimanfaatkan secara bebas (Tasarruf) semasa hidupnya, setelah dikurangi biaya jenazah (Tahjiz Al-mayyit), utang dan wasiat. Dalam kompilasi hukum islam disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris (orang yang meninggal) selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (Tahjiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.[1]
Dalam syari’at islam ada tiga rukun supaya pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu:
1.      Orang yang mewariskan (muwarris) benar telah meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pembagian atau pemberian harta kepada keluarga pada masa hidupnya tidak termasuk ke dalam  kategori waris mewarisi, tertapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah.
2.      Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orng yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk dalam pengertian hidup disini adalah:
a)             Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
b)             Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup. Apabila dalam waktu yang ditentukan ia tidak juga kembali maka bagian warisannya dibagikan kembali kepada ahli waris.[2]

3.      Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yaitu:
a)      Hubungan nasab, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah, kakek dan lainnya, atau pertalian lurus ke bawah seperti: anak, cucu, atau pertalian mendatar seperti saudara, paman, dan anak turunnya.[3]
b)      Hubungan pernikahan, yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan.[4]
c)      Hubungan perbudakan (wala), yaitu seorang berhak mendapatkan harta warisan dari bekas budak (hamba) yang telah dimerdekakannya. Apabila yang dimerdekakan itu meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, maka bekas tuan yang membebaskannya (mu’tiq) berhak menerima warisan padanya.[5]
d)     Karena hubungan agama islam, yaitu apabila seorang meninggal dunia tidak meninggalkan orag yang mewarisi, maka hartanya akan diserahkan kepada baitul mal untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat islam.[6]
      Masalah harta warisan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. dan setelah itu apabila berhak, seberapa banyak hak itu. Hal ini menimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, oleh orang lain dianggap tidak adil. Karena itu, datanglah islam membawa ketentuan dari Allah SWT. dalam hal waris mewaris ini. Sehingga ketidakharmonisan antar anggota keluarga yang dipicu  masalah pembagian harta warisan ini akhirnya membuat sebagian masyarakat lebih memilih untuk memberikan harta warisan sebelum orang yang memberikannya meninggal dunia, lalu bagaimana hukumnya? Padahal yang dinamakan warisan ialah harta yang dibagikan setelah pemiliknya meninggal dunia sesuai dengan syarat mewaris, yaitu Al ilmu binahwil irtsi (mengetahui tata cara pembagian harta warisan), addarajah (sederajat, artinya seagama), Mautul Muwarrits(orang yang diwaris hartanya telah mati terlebih dahulu), dan Taakharu Hayatul Waris (orang yang mewaris lebih akhir hidupnya dari pada orang yang diwaris hartanya).

2.      Jawaban
Hukum membagi harta warisan sebelum orang yang memberikannya meninggal dunia untuk menghindari percekcokan atau ketidakharmonisan antar anggota keluarga adalah boleh.[7] tetapi ketentuannya akan masuk kepada Hibah, yaitu akad atau perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun. Menurut agama islam seseorang boleh menyerahkan atau memberikan harta miliknya kepada orang lain diwaktu ia masih hidup dan pemindahan milik berlaku pada waktu ia masih hidup pula atau ia boleh menyatakan pemberiannya diwaktu ia masih hidup tetapi pelaksanaan pemindahan milik dilakukan setelah ia meninggal dunia. Yang pertama disebut Hibah. dan yang kedua disebut Wasiat. Hibah tidak terbatas jumlahnya tergantung kepada kehendak Dan keinginan si pemberi. Bahkan ia boleh menghibahkan seluruh hartanya, sedangkan wasiat tidak boleh melebihi sepertiga dari harta orang yang berwasiat. Hibah tidak dapat dibatalkan oleh orang yang menghibahkan, sedangkan wasiat boleh dibatalkan oleh orang yang berwasiat secara sepihak.[8]
B.     Dilema Pembagian Harta Warisan
1.      Deskripsi
Dalam masalah waris, dikenal istilah ilmu faraidh, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta bagi ahli waris.[9] Hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada orang yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban itu bagi orang yang lain. Begitu pentingnya ilmu ini sampai dikatakan oleh Rasulullah SAW. Sebagai separoh ilmu. Disamping itu, oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali akan dicabut. Artinya pada kenyataannya hingga sekarang tidak banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Selain sukar, ilmu ini akan lenyap karena sedikit yang mempelajarinya lebih-lebih orang-orang banyak yang membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan- kebijaksanaan dan tidak berdasarkan hukum Allah SWT.[10]  Hal tersebut juga dijelaskan didalam kitab matan Rohabiyah :
بِاَنَّهُ اَوَّلُ عِلْمٍ يُفْقَدُ      فِى الاَرْضِ حَتَّى لاَ يَكَادُ يُوْجَدُ
Bahwasanya ilmu yang pertama kali hilang di muka bumi ini adalah ilmu faroidh sehingga tidak banyak ditemui orang-orang yang menguasainya. [11]Oleh karena minimnya orang yang ahli dalam ilmu Faroidh (ilmu waris) membuat sebagian masyarakat sungkan untuk mencari orang yang ahli ilmu tersebut untuk membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan syari’at. Mereka lebih memilih membagi harta warisan dengan sistem kekeluargaan. Apakah sebuah keluarga yang tidak memahami ilmu faroidh diharuskan untuk mencari orang yang ahli untuk membagi harta warisan atau boleh langsung dibagikan secara kekeluargaan?
2.      Jawaban
Sudah menjadi kewajiban umat islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
 اِقْسِمُوْا الْمَالَ بَيْنَ  اَهْلِ الْفَراَئِضِ عَلىَ كِتاَبِ اللّهِ (رواه مسلم وابو داود)
Artinya:  Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut kitabullah.(HR. Muslim Dan Abu Dawud).[12]
Disamping itu Allah pun berfirman:

ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtƒur ¼çnyŠrßãn ã&ù#Åzôム#·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ
Artinya : “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”.(An-nisa’: 14)

Maka, ketika didalam sebuah keluarga tidak memahami ilmu faraidh, wajib baginya untuk mencari orang yang ahli dalam bidang ilmu faroidh untuk menentukan orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan dan kadar bagian yang didapat oleh ahli waris. Dengan ketentuan, bagi ahli waris diperkenankan membagi warisan secara kekeluargaan jika ahli waris sudah tau kadar yang diperolehnya dan ahli waris tidak ada yang berstatus Mahjur Alaih, seperti anak kecil yang belum tamyiz (misalnya berusia satu atau dua tahun).[13]
C.     Harta Warisan Banci (Khuntsa)
1.      Deskripsi
      Di dalam hadits, Nabi bersabda: “Allah melaknati orang-orang yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” Pengertian banci menurut istilah ialah orang yang mempunyai alat laki-laki dan alat perempuan, atau tidak mempunyai alat sama sekali baik alat perempuan atau alat laki-laki. Di dalam hal ini persoalannya menjadi kabur. Apakah mereka itu laki-laki atau perempuan.Maka disebut khuntsa musykil (banci yang meragukan). Disebut musykil, sebab menurut aslinya, manusia itu laki-laki atau perempuan.
Tiap laki-laki atau perempuan mempunyai hukum sendiri-sendiri dan laki-laki berbeda dengan perempuan sebab mempunyai alat laki-laki. Bila terdapat dua alat atau tidak ada sama sekali, maka timbullah keraguan dan masalahnya menjadi kabur. Kecuali pada suatu ketika, memang meragukan itu bisa hilang, seperti diketahuinya tempat keluarnya kencing. Bila kencingnya dari bagian laki-laki, maka hukumnya laki-laki dan mendapat warisan sebagai orang laki-laki. Dan bila kencingnya dari bagian perempuan maka hukumnya perempuan dan mewarisi sebagai perempuan.
Tetapi bila kencingnya dari kedua-duanya dan tidak diketahui mana yang keluar lebih dahulu, maka ia disebut khuntsaa musykil sampai menginjak usia baligh. Kemudian sesudah baligh, apabila mimpi seperti mimpinya orang laki-laki (terhadap orang perempuan) atau lebih menyukai perempuan, atau tumbuh kumisnya, maka dia adalah lelaki. Bila tumbuh payudaranya, atau datang bulan, atau hamil, maka dia perempuan. Bila tanda-tanda ini tidak muncul, maka ia tetap sebagai khuntsaa musykil (banci yang meragukan).
Muslich Muruzi mendefinisikan al-khunsa adalah orang yang diragukan jenis kelaminnya apakah ia laki-laki ataukah perempuan. Karena kalau dikatakan laki-laki ia mirip perempuan, tetapi kalau dinyatakan perempuan ia mirip laki-laki. Istilah yang sering dipakai adalah wadam (wanita-adam), atau waria (wanita-pria) atau gay.
Sebenarnya ada istilah wadam atau waria tidak selalu identik atau sama dengan yang dimaksud dengan al-khunsa al-musykil. Karena penyebutan wadam atau waria, asosiasinya menunjukkan bahwa mereka secara fisik adalah laki-laki, hanya mungkin secara kejiwaan (psikologis), atau mungkin segi hormonal, penampilannya seperti perempuan. Sementara al-khunsa al-musykil memang tidak jelas kelaminnya, baik karena berkelamin ganda atau tidak berkelamin sama sekali. Maka bagaimana pembagian warisan terhadapnya?
2.      Jawaban
Pada dasarnya untuk menetapkan berapa bagian yang harus diterima orang banci (khunsa) apabila dimungkinkan adalah mencari kejelasan status dan jenis kelaminnya. Tetapi apabila sulit menentukan statusnya, indikasi fisiklah yang dipedomani, bukan gejala-gejala psikis atau kejiwaannya. Hal ini didasarkan pada jawaban Nabi SAW ketika beliau menimang anak banci orang ansar dan ditanya tentang hak warisnya. Kata beliau: “Berikanlah anak khunsa ini (seperti bagian anak laki-laki atau perempuan) mengingat alat kelamin mana yang pertama kali digunakan buang air kecil”.[14]
Terhadap  khuntsa ini, tidak ada persoalan warisan apabila dapat diketahui dengan pasti atau dapat ditarjihkan ketetapan jenis kelaminnya itu, apakah ia termasuk jenis laki-laki maupun perempuan, ketentuan warisan baginya berlaku sesuai dengan ketentuan pentarjihan tersebut. Kalau laki-laki ditetapkannya ia ahli waris laki-laki, kalau pentarjihan perempuan, maka ia berstatus ahli waris perempuan.
Masalahnya adalah ketika tidak dapat dipastikan apakah ia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, atau disebut dengan khuntsa musykil. Hukum memberi bagian warisan kepada orang yang mempunyai kedudukan khuntsa musykil ialah dengan memperhitungkan kalau ia berkedudukan sebagai ahli waris laki-laki, kemudian diperhitungkan lagi kalau ia berkedudukan perempuan, setelah diketahui berapa bagian kalau ia berkedudukan sebagai laki-laki dan berapa bagian kalau ia berkedudukan sebagai perempuan, maka diberikanlah kepadanya bagian yang terkecil diantara kedua bagian tersebut, karena itulah yang meyakinkan. Demikian pula apabila dalam suatu kedudukan ia dapat menerima warisan dan dalam kedudukan lain ia tidak mendapat, maka ditetapkanlah ia tidak mendapat warisan.[15] Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah:
مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَشَكَّ فىِ الْقَلِيْلِ اَوِ الْكَثِيْرِ حُمِلَ عَلىَ الْقَلِيْلِ
Yaitu jika seseorang telah yakin berbuat sesuatu tetapi ragu terhadap banyak sedikitnya, maka yang dihitung yang sedikit[16]. Keringkasannya dalam memberikan warisan kepada khuntsa musykil ialah bagian yang lebih kecil dari dua kemungkinan bagian yang diterimanya kalau ia berstatus ahli waris yang berkelamin laki-laki atau perempuan.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pembagian harta warisan seringkali menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga, sehingga sebagian anggota masyarakat memilih memberikan harta warisan kepada ahli warisnya sebelum meninggal dunia, padahal yang dinamakan waris adalah harta yang diberikan setelah seseorang meninggal dunia, hal tersebut di hukumi boleh tetapi masuknya dalam kategori hibah.
2.      Pembagian harta waris diharuskan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah sehingga dalam pembagiannya, dibutuhkan seorang yang memang benar-benar faham dalam ilmu faroidh (waris).  jika dalam sebuah keluarga tidak ada yang memahami ilmu faroidh (ilmu waris), maka wajib untuk mencari orang yang ahli untuk membagi harta waris atau membagi harta waris secara kekeluargaan jika sudah tau kadar perolehannya Dan ahli waris tidak ada yang berstatus Mahjur Alaih.
Dalam memberikan warisan kepada khuntsa ialah  apabila dimungkinkan mencari kejelasan status dan jenis kelaminnya. Tetapi apabila sulit menentukan statusnya, indikasi fisiklah yang dipedomani, bukan gejala-gejala psikis atau kejiwaannya. Sedangkan bagi khuntsa musykil ialah bagian yang lebih kecil dari dua kemungkinan bagian yang diterimanya kalau ia berstatus ahli waris yang berkelamin laki-laki atau perempuan.


[1] Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.57
[2] Ibid., hlm.71
[3] Ibid., hlm. 72
[4] Ibid., hlm. 75
[5] Ibid., hlm. 76
[6] Ibid., hlm. 77
[7] KH. Ahmad Idris Marzuqi dan KH. Maimun Zubair, Ngaji Fiqh Untuk Bekal Dunia Akherat jilid 2 (Kediri: Santri Salaf Press, 2014), hlm. 53
[8] Zakiah Daradjat, Ilmu fiqh jilid III,(Yogyakarta: PT.Dana Bakti Wakaf, 1995 ), hlm.178
[9] Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan……………hlm.50
[10] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh……….. hlm.4
[11] Abi Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Hasan Arrohaby, Matnurrohabiyyah, (Semarang: Karya Thoha Putra, Tt), hlm.2
[12] Ibid., hlm. 5
[13] KH. Ahmad Idris Marzuqi dan KH. Maimun Zubair, Ngaji Fiqh Untuk Bekal Dunia Akherat jilid 2…….hlm.52
[15] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh……….. hlm. 146
[16] Moh. Adib Bisri, Tarjamah Faroidul Bahiyyah Risalah Qowaid Fiqh, (Kudus: Menara Kudus, 1977), hlm. 10
 

 

No comments:

Post a Comment