Jenis artikel: Deskriptif
Ditujukan untuk semua kalangan
Lembaga: STAIN Kudus
Oleh:
F2-PAI
Putri Umaiya 1310110197
Dofi Fatmalasari 1310110199
Nila Khilyatun Nafis 1310110204
Rika Aprilia 1310110206
Intan siska Santoso 1310110215
A’thi Rizqiyani Mahbubah 1310110218
Naufa Rikza El Hakim 1310110226
Thu’adi 1310110234
Bagi pelajar, khususnya yang kelas 3 SMP/MTs maupun SMA/MA
sederajat, UN merupakan momok yang sangatlah menakutkan. Yang sangat mereka
takutkan ialah apabila mereka tidak lulus, mereka akan menanggung malu atas
ketidaklulusannya. Apalagi Ujian Nasional yang sekarang semakin lebih
diperketat dan dipersulit untuk meminimalisir adanya kebocoron.
Namun faktanya semakin diperketatnya Ujian Nasional maka semakin
membuat siswa untuk berbuat tidak jujur, yaitu mencontek. Dengan lebih ketatnya
UN, membuat siswa semakin berusaha untuk mencari bocoran di mana saja, dan
dengan cara apa saja. Bagi mereka jika Jujur ya hancur (tidak lulus),
dan jika nyontek maka mujur. Ya mungkin itu dikarenakan kurang percaya
dirinya si siswa dengan kemampuan yang ia miliki. Padahal jauh-jauh hari
sebelum UN, siswa-siswa yang akan menghadapi UN sudah di berikan pelajaran
tambahan untuk mereka agar dapat mengerjakan ujian dengan mudah, dan agar
nantinya bisa lulus 100%.
Realitanya beberapa kasus menunjukkan mirisnya Ujian Nasional di
beberapa daerah. Seperti yang di kutip dari:
Hari pertama Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/SMK sederajat secara
serentak, di Kabupaten Tangerang, diwarnai aksi curang para peserta ujian
tersebut. Dimana para peserta yang mengerjakan soal ujian terlibat percakapan
sambil bertukar jawaban. Ironisnya, aksi para pelajar ini diketahui para
pengawas ruangan. Namun, hal tersebut seakan dibiarkan dan tidak ditindak baik berupa
teguran atau sanksi lainnya dari pengawas tersebut.
Hal memalukan ini terjadi di SMAN 18 Tigaraksa, aksi contek
mencontek dan tukar jawaban antara peserta ujian seakan mendapat restu dari
pengawas. Mereka, hanya diam dan seakan tidak tahu akan insiden yang dapat
merusak moral para peserta UN yang tengah melakukannya.
Padahal, setiap ruangan UN sudah diawasi oleh dua tenaga pengawas
dari sekolah lain dan sejumlah guru sekolah tersebut. Tidak hanya itu, beberapa
petugas dari Dinas Pendidikan (Dindik) setempat pun turut mengawasi.
Heri Supriatna, Kepala Sekolah SMAN 18 Tigaraksa mengatakan,
dirinya membantah akan adanya insiden memalukan itu. Ucap Supriatna, dirinya
pun menjelaskan, tindak mungkin ada tindakkan saling tanya jawab itu, setiap
kelas yang digunakan untuk UN diawasi oleh para pengawas dari berbagai sekolah.
Selain itu, para peserta hanya membawa alat tulis kedalam ruangan, dan soal
ujiannya pun berbeda.
Dan bahkan ada juga kasus yang menunjukkan adanya jual beli bocoran
soal UN, seperti yang dikutip dari:
Okezone. Com, Minggu, 3 April 2016. SUMSEL-Menjelang
pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2016 tingkat SMA, sejumlah pelajar
dihebohkan dengan wacana adanya bocoran soal UN 2016 beserta kunci
jawabannya. Paket bocoran soal dan kunci jawaban UN tersebut dapat ditebus
dengan uang Rp1 juta hingga Rp3 juta. Menurut pengakuan A (17) salah seorang
pelajar SMA di Banyuasin, dia mendapat tawaran soal dan kunci jawaban UN dari
kenalannya di media sosial. Satu paket soal ujian nasional 2016 dibanderol
seharga Rp 1 juta hingga Rp 3 juta. Harga bervariasi, tergantung jenis dan
kelengkapan soal.
"Kalau
soalnya saja tanpa kunci jawaban, bisa dikasih Rp 1 juta. Jika komplet dengan
kunci jawaban, bisa sampai Rp 3 juta. Memang lumayan mahal, tetapi bila dibeli
patungan, tidak terlalu," jelasnya.
A mengimbuhkan,
paket bocoran soal dan kunci jawaban UN 2016 itu baru akan
diberikan sehari menjelang pelaksanaan UN. Paket diberikan mencicil, sesuai
mata pelajaran yang diujikan per harinya. “Soalnya dikirim via e-mail, baik
yang sistem CAT atau LJK,” ungkapnya.
Menurut
sejumlah pelajar yang telah lulus, lanjut A, bocoran soal UN 2016 tersebut
memang ada dan mayoritas sama persis. “Tapi saya masih ragu, lihat teman-teman
dulu bagaimana,” katanya.
Menurut analisis kami, para peserta ujian
nasional di SMA/SMK belum siap menghadapi ujian nasional, hal ini terbukti dari
pantauan PenaTangerang.com yang melihat berbagai kecurangan saat
berjalannya UN mulai dari bekerja sama, berbagi jawaban, dan membawa telepon
seluler. Hal ini diperburuk dengan sistem pengawas UN yang tidak bekerja untuk
mengawasi, akan tetapi justru membiarkan begitu saja.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter yang terjadi saat ini
belum berjalan maksimal, nilai kejujuran yang diharapkan tertanam pada jiwa
peserta didik belum bisa terealisasi secara maksimal. Dalam hal ini semua
komponen tetap perlu bekerja sama satu sama lain, karena jika satu saja
komponen lengah maka usaha yang dibangun tidak bisa secara maksimal. Komponen
yang terlibat antara lain orang tua, pendidik, peserta didik, masyarakat,
lembaga sekolah dan bimbingan belajar, pengawas, serta pendistribusian soal UN.
Kecurangan
menjadi hal yang telah dianggap wajar dan menyeluruh dalan setiap pelaksanaan
UN. Hal ini dibuktikan dengan fakta-fakta yang terjadi dilapangan. Pengawas
yang dibagi secara acak dari berbagai pendidik yang ada di lembaga-lembaga
sekolah seolah turut mendukung tindak kecurangan tersebut. Alasan utamanya
selain unsur kasihan kepada peserta, juga dimungkinkan adanya kerjasama dengan
lembaga. Bagaimana tidak, mana ada lembaga yang ingin peserta didiknya tidak
lulus, kelulusan 100% tentunya yang diharapkan karena dengan kelulusan yang
dianggap sempurna, diartikan pendidikan di lembaga tersebut berhasil, sudah
dapat dipastikan lembaga itu menjadi lembaga favorit dan terpercaya menurut
anggapan warga masyarakat.
Melihat
realita kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN, jual-beli
kunci jawaban merupakan hal yang sangat memprihatinkan, selain nilai kejujuran
yang hilang dari peserta didik, ketidaksiapan menghadapi UN dengan kecurangan
seperti ini juga memperlihatkan kegagalan pendidik dalam mempersiapkan peserta
didiknya menghadapi UN. Hal ini sama saja dengan bentuk pembuktian peserta
didik bahwa kegagalan pendidik dalam mempersiapkan UN selama tiga tahun ditukar
dengan satu lembar bocoran kunci jawaban bernilai jutaan rupiah.
Dengan adanya beberapa bukti dari realitas di atas menunjukkan
bahwa kualitas Ujian Nasional sangatlah rendah dibuktikan dari pihak pembuat
soal, pengawas, pihak sekolah, siswa dan semua pihak yang terkait. Pendidikan
karakter yang seharusnya diterapkan oleh setiap sekolah, nyatanya masih belum
bisa diterapkan kepada setiap individu. Hal itu bagaikan sebuah sistem yang
amburadul dan memprihatinkan.
Jika dikaitkan dengan pendidikan agama, hal itu sangat mencoreng nilai-nilai
yang ditanamkan oleh agama pada diri siswa. Guru yang seharusnya menanamkan
nilai-nilai moral, khususnya kejujuran pada siswa-siswanya, justru malah
mengajarakan kecurangan pada praktik Ujian Nasional. Ditambah lagi kecurangan
tersebut ditutupi pihak kepala sekolah dengan kebohongan baru untuk menutupi
kecurangan siswanya. Demikiankah hal yang seharusnya diajarkan di sebuah
lembaga pendidikan? Apakah pendidikan sekarang yang diharapkan masih sebuah
nilai sebagai tolak ukur? Pendidikan sejatiya dirumuskan untuk mengarahkan
seseorang menjadi lebih baik dalam segala hal. Nilai hanyalah simbol karena
yang menjadi tolak ukur adalah moral yang bisa ditanamkan pada diri peserta
didik.
Maka, dalam pelaksanaan Ujian nasional hendaknya pihak terkait
terlebih dahulu menanamkan mindset bahwa UN bukanlah hal yang menakutkan,
bersikap seperti biasa dan dibawa suasana yang santai, karena kalau perasaan
menegangkan tidak akan bisa focus saat mengerjakan soal, selain itu kejujuran
juga sangat diperlukan. Kecurangan dalam ujian nasional sebenarnya tidak akan
pernah terjadi jika semua pihak punya sifat jujur. Baik itu, siswa, pihak
sekolah, pengawas, maupun penyelenggara ujian. Karenanya, sangat penting untuk
menanamkan rasa berani jujur itu.
Sebelum hari ujian, seharusnya semua peserta ujian harus
mendapatkan bekal yang cukup untuk persiapan ujian. Dengan demikian, saat hari
ujian tiba, mereka sudah siap dan tidak perlu lagi mencari kunci jawaban ke
calo atau yang lainnya.
No comments:
Post a Comment