Thursday 7 April 2016

permasalahan ibadah



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Seiring dengan pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia yang serba modern ini, tentu akan mempengaruhi kehidupan di masyarakat. Kebutuhan masyarakat yang ingin hidup serba modern dan selalu mengikuti trend perkembangan zaman menimbulkan berbagai problem dalam masalah baik dari sisi mu’amalah maupun ibadah pada khususnya. Dalam makalah ini kami menyoroti beberapa kasus yang perlu dibahas sehingga mampu memecahkan problem yang ada.
Adapun permasalahan yang kami soroti dalam makalah ini antara lain tentang hukum penggunaan obat pengatur siklus haid, penggunaan mukena potongan, dan penggunaan eskalator dalam melaksanakan ibadah sa’i. Adapaun alasan utama  kami membahas masalah tersebut tidak lain untuk mencari solusi dari masalah yang banyak terjadi dan dilakukan oleh kalangan masyarakat awam, sehingga dengan adanya pembahasan dari uraian masalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua umat dalam rangka upaya menjadi masyarakat islami yang hakiki.

B.       Permasalahan
1.    Penggunaan obat penunda haid, bolehkah?
2.    Pemakaian mukena potongan dalam shalat, bagaimana hukumnya?
3.    Penggunaan eskalator dalam melakukan ibadah sa’i, bolehkah?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hukum Mengkonsumsi Obat Penunda Haid
1.    Deskripsi
Para imam mazhab sepakat bahwa kewajiban shalat gugur bagi perempuan haid, yaitu selama masa haidnya. Ia tidak dituntut mengqadlanya. Ia juga diharamkan bertawaf, diam di dalam masjid dan suaminya haram menyetubuhinya hingga haidnya berhenti.[1]
Haid (menstruasi) adalah kodrat wanita yang tidak bisa dihindari. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadits nabi. Problem haid yang sangat beragam, rentan memunculkan beberapa fenomena yang perlu kita cermati bersama. Satu diantaranya adalah mengenai hukum mengkonsumsi obat-obatan guna mempercepat atau menunda siklus haid. Lalu bagaimanakah hukum mengkonsumsi obat-obatan untuk menunda atau mempercepat siklus haid?
2.    Penjelasan
Haid didefinisikan sebagai darah yang keluar dari pangkal rahim wanita melalui vagina pada waktu-waktu tertentu, bukan karena penyakit atau karena pasca persalinan. Haid merupakan kodrat wanita yang telah digariskan Allah SWT,[2] sebagaimana sabda Rasullah SAW.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْقَاسِمِ قَالَ سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ خَرَجْنَا لَا نَرَى إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفَ حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قَالَ مَا لَكِ أَنُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ قَالَتْ وَضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ )رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Al Qasim berkata, Aku mendengar Al Qasim bin Muhammad berkata, Aku mendengar ‘Aisyah berkata, “Kami keluar dan tidak ada tujuan selain untuk ibadah haji. Ketika tiba di Sarif aku mengalami haid, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk menemuiku sementara aku sedang menangis. Beliau bertanya: Apa yang terjadi denganmu? Apakah kamu datang haid? Aku jawab, Ya. Beliau lalu bersabda: Sesungguhnya ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita dari anak cucu Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang haji, kecuali thawaf di Kabah. Aisyah berkata, Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkurban dengan menyembelih seekor sapi yang diniatkan untuk semua isterinya”.(HR. Bukhari).[3]
Meski demikian ada beberapa wanita yang selama hidupnya tidak pernah mengalami menstruasi, seperti Sayyidah Fatimah ra, putri Rasulullah saw. Keistimewan yang dianugrahkan Allah SWT kepada beliau tidak lain untuk memberikan lebih banyak kesempatan dalam meraih pahala ketimbang kaum hawa yang lain. Sebab, dengan tidak pernah mengalami haid, kesempatan beribadah semakin luas. Oleh karena itu, Fatimah ra menyandang gelah Al-Zahra (yang bersinar, bercahaya).
Dalam memperlakukan wanita yang sedang haid, islam mempunyai ketentuan yang sangat bijak. Konon, Kaum Yahudi memperlakukan wanita yang sedang haid degan semena-mena. Saat haid, wania selalu dipisahkan dari kehidupan mereka seperti makan, minum, atau sekedar kumpul-kumpul bersama keluarga. Sedangkan umat nasrani sama sekali tiak memperdulikan bahwa haid itu kotor. Mereka tetap menyetubuhi istri-stri mereka meskipun sedang haid.
Islam sebagai agama yang sempurna terlihat lebih adil dan bijak dalam menyikapi hal ini. Saat haid, wanita tetap harus diperlakukan sebagaimana biasa namun tidak diperkenankan sampai melakukan hubungan intim. Sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT QS. Al Baqarah: 222.[4]
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.[5]
Masa minimal lamanya haid, menurut imam Syafi’I yang paling masyhur dan Hambali, adalah sehari semalam dan maksimal adalah lima belas hari lima belas malam. Menurut pendapat hanafi, masa minimal adalah tiga hari dan maksimal adalah sepuluh hari. Sementara itu, menurut Maliki, tidak ada batas minimal, dan batas maksimalnya adalah lima belas hari.[6]
3.    Jawab
Hukum mengkonsumsi obat-obatan untuk menunda haid adalah boleh, asalkan tidak menimbulkan dampak negatif pada jiwa atau raga seseorang.[7] Sidang Komisi Fatwa MUI tanggal 12 Januari 1979 memutuskan bahwa menggunakan obat penunda haid adalah mubah bagi wanita yang sukar mengqadha puasa ramadhan pada hari lain, serta makruh jika untuk menyempurnakan puasa ramadhan, namun dapat mengqadha pada hari lain tanpa kesulitan.
Dari hasil keputusan diatas berdasarkan pendapat Ulama Saudi Arabia, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin yang menyatakan bahwa memperbolehkan menggunakan obat penunda haid dengan dua syarat yaitu: tidak membahayakan kesehatan dan harus seijin suami. Fatwanya atas dasar al-Qur’an surat Al-baqarah 195 dan An-Nisa’ 29.[8]
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? öä3ƒÏ÷ƒr'Î n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ  
Artinya: “Dan belanjakanlah(harta bendamu) di jaln Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.(Al-Baqarah: 195).[9]
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(An-Nisa’: 29).[10]
Hukum makruh didasarkan pada hadist Nabi yaitu, Rasulullah bersabda:” Barang siapa yang berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan Allah, maka tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia betul-betul melakukannya” (HR. Abu Dawud). Maksudnya, orang mengqadha’ akibat buka puasa atas dasar udhur, maka qadha’nya sama dengan puasa dibulan ramadhan.
Tujuan utama penetapan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Yusuf al-Qardhawi menggambarkan bagaimana eratnya hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Dalam kajian fiqh, salah satu metode istinbath hukum Islam yang lebih banyak menekankan aspek maslahat dalam pengambilan keputusan hukumnya adalah maslahah mursalah. Salah satu persyaratan maslahah mursalah, yaitu tidak adanya dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya. Sehingga, dalam masalah hukum menunda haid, dimana tidak terdapat nash yang mengaturnya, maka argumentasi para ulama dalam merumuskan hukum mengenai hal itu dibangun berdasarkan metode maslahah mursalah.[11] Terhadap masalah tersebut berlaku kaidah:
الأصل فى الأشياء الاِباحة حتّى يدلّ الدّليل على التحريم
Hukum asal dari segala sesuatu itu boleh, kecuali yang ada dalil yang mengharamkannya”.[12]
            Berkaitan dengan kasus tersebut, jelas tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sehingga dengan dasar ini hukum kemubahan obat penunda haid dirumuskan.
            Meskipun demikian, hal itu masih mungkin menjadi haram akibat faktor lain, misalnya karena membahayakan kesehatan. Sehingga, Ibnu Utsaimin merumuskan fatwanya berpegang pada nash al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195.
Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat penunda haid untuk ibadah adalah mubah, dan makruh apabila hanya ingin menyempurnakan puasa ramadlan, karena dianggap malas mengqadla di luar ramadlan, dan haram apabila itu dapat membawa madlarat bagi dirinya.





B.       Problematika Pemakaian Mekena Potongan
1.    Deskripsi
Dunia mode kini semakin berkembang dengan cepat. Tidak hanya pada pakaian pesta atau trend busana remaja saja, mode juga merambah pada baju muslimah bahkan mukena yang digunakan untuk ibadah shalat.
Bagi kalangan muslimah muda khususnya, mereka cenderung lebih suka memakai mukena potongan (atasan dan bawahan) dilengkapi dengan pernak-pernik disana sini untuk memperindah pandangan. Mereka tidak menatap kenyataan lebih jauh bahwa dengan memakai mukena potongan, dagu tidak tertutup dengan baik, dengan pergelangan tangan, lengan serta leher bisa tampak dari bawah saat ia rukuk. [13]
Bagaimanakah cara menutup aurat dalam shalat yang benar menurut fiqih bagi kaum muslimah dan bagaimana fiqih menaggapi fenomena diatas?
2.    Penjelasan
Dalam persoalan menutup aurat wanita memiliki kenentuan yang ketat ketimbang laki-laki. Utamanya batas-batas aurat hingga cara menutupnya. Perbedaan itu tampak jelas dalam firman Allah SWT yaitu dalam QS. An-Nur: 30-31.[14]
@è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4 y7Ï9ºsŒ 4s1ør& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁtƒ ÇÌÉÈ   @è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ (
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya”.(Qs. An-nur:30-31).[15]

Pada poin kata “Ma dzahara minha” Sayyidina Ibn Abbas memberi kejelasan bahwa maksudnya adalah perhiasan yang tampak pada telapak tangan dan wajah inilah batas aurat wanita, yakni seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Sedangkan aurat laki-laki hanyalah anggota tubuh diatara lutut dan pusar. Rasulullah saw bersabda:
عَوْرَةُ الرَّجُلِ مِنْ سُرَّتِهِ اِلَى رُكْبَتِهِ
Artinya: “Aurat laki-laki adalah dari pusar samapai lututnya”. (Hr. Al-haitami).
Dengan demikian, dalam shalat, seorang wanita harus menutup seluruh anggota tubuhnya selain wajah dan telapak tangan.[16] Batas wajah sebagaimana dalam wudhu adalah antara tempat tumbuhnya rambut kepala hingga ujung tulang rahang bawah. Sedangkan lebar wajah adalah antara telinga kanan dan kiri. Sedangkan telapak tangan adalah bagian telapak tangan luar maupun dalam selain pergelangan tangan.[17]
Dari batas-batas ini dapat dipahami bahwa rambut kepala dan dagu termasuk aurat yang wajib ditutup. Pergelangan tangan juga termasuk aurat yang wajib tertutup saat shalat. Oleh karenanya, cara pemakaian mukena yang tepat adalah dengan menambahkan kain (kerudung) untuk menutup sebagian kening agar rambut kepala bagian depan tidak terbuka dengan gerakan-gerakan shalat. Mukena bagian dagu juga harus ditarik kedepan sampai dibawah bibir, dan sebagian telapak tangan juga harus tertutup. Semua ini dilakukan sebagai langkah antisipasi, demi menjaga sempurnanya pelaksaan kewajiban.
مَا لاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ اِلَّابِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya:Sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya kewajiban adalah wajib pula”.
Dalam pelaksanaan shalat, aurat harus tertutup (tidak terlihat dari semua arah selain bawah). Sedangkan terlihatnya aurat dari arah bawah tidak menyebabkan batalnya shalat, yakni dari bawah lutut bagi pria dan bawah telapak kaki bagi wanita.[18]
Maksud arah atas bagi laki-laki adalah menutupi pusar serta anggota yang lurus dengan pusar. Untuk arah bawah, dimulai dari lutut serta anggota yang lurus dengan lutut. Sedangkan arah samping adalah tertutupnya semua anggota antara pusar dan lutut. Mengenai arah atas bagi perempuan adalah menutupi kepala, pundak dan sisi samping wajahnya. Untuk arah bawahnya, bagian arah yang terletak dibawah telapak kakinya. Sedangkan arah sampingnya, semua anggota aurat diantara kepala dan kaki perempuan.[19]
Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa terlihatnya pusar dari lubang baju pada bagian leher, atau dari sela-sela kancing baju dapat membatalkan shalat, sedangkan terlihatnya lutut atau paha dari lubang sarung bagian bawah tidak membatalkan shalat. Dapat disimpulkan pula bahwa terlihatnya leher atau lengan tangan kaum wanita yang memakai mukena potongan saat rukuk seperti fenomena diatas, dapat menyebabkan batalnya shalat. Demikian menurut pendapat ulama’ syafi’iyyah.[20] Kecuali jika mengikuti madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah yang berpedapat bahwa terbukanya dagu tidak membatalkan sholat.[21]
Dengan demikian, jika hal ini dilakukan oleh wanita awam yang tidak mengetahui bagaimana cara taqlid kepada madhab Syafi’I, maka shalatnya tidak batal. Sebuah kaidah :
العَامِي لاَ مَذْهَبَ لَهُ
Artinya: “ orang awam itu tidak ada madhab baginya “.
Maksud kaidah ini adalah setiap perilaku orang awam, asalkan sesuai dengan salah satu pendapat ulama madzhab siapapun, meskipun ia tidak menyadari atau memahaminya maka prilaku tersebut dapat dibenarkan.
3.    Jawab
Maka berdasarkan penjelasan di atas cara menutup aurat bagi kaum wanita pada saat shalat adalah dengan tertutupnya seluruh anggota tubuh selain wajah dan telapak tangan dari segala arah selain bawah telapak kaki. Sehingga terlihatnya dagu, leher, pergelangan tangan atau lengan, saat shalat memakai mukena potongan dapat membatalkan shalat. Kecuali jika ia tergolong orang awam, maka konsekuensi hukumnya berbeda. [22]

C.      Sa’i Menggunakan Escalator
1.    Deskripsi
Jamaah haji tiap tahunnya terus bertambah, lokasi masjid al-haram pun direncanakan akan diperluas. Renovasi beberapa tempat ibadah yang perlu akan segera dilaksanakan dengan tujuan mempermudah pelaksanaan ibadah dan menghindari resiko yang rawan terjadi karena jamaah yang berdesakan. Salah satunya, pemerintah Saudi Arabia bermaksud membuat escalator antara Shafa dan Marwah dengan maksud untuk mempermudah pelaksanaan sa’i bagi jamaah haji yang tidak mampu melaksanakan sa’i dengan jalan kali.[23]
Maka dari itu Bisakah tindakan pemerintah Arab Saudi jika benar-benar terlaksana, dibenarkan menurut pandangan fiqh? dan Sahkah pelaksanaan sa’I dengan menggunakan escalator tanpa berjalan kaki?
2.    Penjelasan
a.    Tindakan pemerintah Arab menurut fiqh.
Pemerintah diangkat atas dasar menjaga kemaslahatan rakyatnya, sehingga segala sesuaatu yang dilakukan oleh pemerintah harus terdapat unsur mashlahat bagi rakyatnya. Hal ini bertendesi pada hadits sahabat Umar ra yang diriwayatkan oleh Sa’id ibn Manshur:
قال عُمَرُ رضى الله عنه إنى آنْزَلَتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ الله بِمَنْزِلَةِ وَاِلَى اليَتِيْمِ إنْ إحْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَاِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَاِن اسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ
Artinya: sahabat Umar berkata: aku menempatkan diriku dari harta-harta Allah pada tempat orang yang menjaga hartanya anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambilnya, dan jika aku telah kaya aku akan mengembalikannya. Jika aku tidak mengambilnya maka aku telah menjaga diriku (HR. Sa’id ibn Manshur).[24]
Selain itu juga senada dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
تَصَرُّفُ اْلإمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِاْلمَصْلَحَةِ
Artinya: kebijakan imam atas rakyatnya tergantung pada kemaslahatan.
Dengan demikian, pemasangan eskalater di area sa’i oleh pemerintah Saudi dapat dibenarkan. Sebab, kebijakan pemerintah Saudi di atas dipandang mengandung kemashlahatan bagi jamaah yang tidak mampu untuk melakikan sa’i dengan berjalan kaki.
b.    Hukum melakukan sa’i dengan eskalator.
Sa’i; berjalan diantara bukit shafa dan marwah merupakan salah satu dari empat rukun haji. Berdasarkan hadits Rasulullah saw:
يَا أيُّهَا النَّاسُ اُسْعُوا فَإنَّ السَّعْىَ قَدْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ
Artinya: Wahai manusia lakukanlah sa’I karena sesungguhnya sa’I telah diwajibkan bagi kalian semua. (HR. al-Daruqutni).
Ada empat syarat yang harus terpenuhi dalam pelaksanaan sa’i diantaranya:
1)   Dilaksanakan setelah thawaf
2)   Menempuhnya sejauh tujuh putaran
3)   Dimulai dari bukit shafa
4)   Dilanjutkan dari bukit marwah[25]
Perkembangan teknologi yang merambah kewilayah tata laksana sa’i dengan memunculkan praktek sa’i menggunakan escalator merupakan salah satu permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama. Syafi’iyah menyatakan hal ini tidak bermasalah. Hanya saja ketika dilakukan dengan tanpa adanya udzur, maka hukumnya menyalahi tatacara yang utama (khilaf al-aula). Pendapat Syafi’iyah ini dilatarbelakangi oleh kenyataan sejarah bahwa rasulullah pernah juga melaksanakan sa’I dengan kendaraan, tidak dengan berjalan kaki pendapat Syafi’iyah senada dengan imam Malik dan imam ‘Atho.[26]
Sedang menurut imam Mujahid, jika tidak dalam kondusi dlarurat, maka sa’i harus dilakikan dengan berjalan kaki. Sementara imam Abu Hanifah memberikan argumen yang lebih berat dengan cara membebankan kewajiban untuk mengulangi sa’i jika masih mungkin mengulanginya. Jika tak lagi memungkinkan mengulanginya, maka pelaksana sa’i dengan eskalator harus membayar dam setelah ia kembali ketanah airnya.[27]





3.    Jawab
a.    Dari penjelasan di atas maka jawabannya adalah tindakan pemerintah Arab Saudi dapat dibenarkan, karena bertujuan untuk memberi kemudahan kepada jama’ah yang tidak mampu berjalan kaki. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Saudi adalah kebijakan yang sesuai dengan prinsip maslahah bagi rakyatnya.[28]
b.    Hukum pelaksanaan sa’i dengan eskalator tanpa berjalan kaki terjadi khilaf. Menurut imam Abu Hanifah, hal tersebut tidak diperbolehkan, jika dilakukan, maka sa’i harus diulangi. Jika tidak lagi memungkinkan untuk mengulanginya, maka wajib membanyar dam (denda). Sedang menurut Imam Mujahid, diperbolehkan kalau memang ada hal-hal yang medesak (dlarurat). Dan menurut kalangan Syafi’iyah mutlak diperbolehkan, namun termasuk hal yang menyalahi keutamaan (khilaf al-aula).[29]















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Hukum penggunaan obat penunda haid untuk ibadah adalah mubah, dan makruh apabila hanya ingin menyempurnakan puasa ramadlan, karena dianggap malas mengqadla di luar ramadlan, dan haram apabila itu dapat membawa madlarat bagi dirinya.
2.    Cara menutup aurat bagi kaum wanita pada saat shalat adalah dengan tertutupnya seluruh anggota tubuh selain wajah dan telapak tangan dari segala arah selain bawah telapak kaki. Sehingga terlihatnya dagu, leher, pergelangan tangan atau lengan, saat shalat memakai mukena potongan dapat membatalkan shalat. Kecuali jika ia tergolong orang awam.
3.    Tindakan pemerintah Arab Saudi dapat dibenarkan, karena bertujuan untuk member kemudahan kepada jamah yang tidak mampu berjalan kaki. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Saudi adalah kebijakan yang sesuai dengan prinsip maslahah bagi rakyatnya. Dan Hukum pelaksanaan sa’i dengan eskalator tanpa berjalan kaki terjadi khilaf. Menurut imam Abu Hanifah, hal tersebut tidak diperbolehkan, jika dilakukan, maka sa’i harus diulangi. Jika tidak lagi memungkinkan untuk mengulanginya, maka wajib membanyar dam. Sedang menurut Imam Mujahid, diperbolehkan kalau memang dlarurat. Dan menurut kalangan Syafi’iyah mutlak diperbolehkan, namun termasuk hal yang menyalahi keutamaan.
B.       Penutup
Demikian makalah yang telah disusun oleh kelompok kami, tentunya masih banyak kekurangan dalam penyusunan maupun isinya, karena terbatasnya pengetahuan yang ada dan kurangnya referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik yang membangun kepada penulis demi perbaikan makalah ini. Semoga dengan makalah ini, dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan bagi penulis pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdillah, Syeikh Al-Imam Al-Alim Al-Alamah Syamsuddin. 1983. diterjemahkan oleh Imron Abu Amar, Fathul Qarib. Kudus: Menara Kudus.
Ad-Dimasyqi, Muhammad bin Adurrahman. 2014. Fiqih Empat Madzhab, diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Alkaf. Bandung: Hasyimi.
Bahtsul Masa-iel, Team Kodifikasi. 2010. Santri Lirboyo Menjawab Majmu’ah Keputusan Bahtsul Masa-iel. Kediri: Pustaka Gerbang Lama.
Bisri, Moh Adib. 1977. Al Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh. Kudus: Menara Kudus.
Bisri,A Mustofa. 2005. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista.
Hadits Aplikasi, Kitab 9 Imam Hadits.
Munawwir Ridhwan, Muhammad. 2015. Fiqih Instant Referensi Pilihan Teraktual. Kediri: Lirboyo Press.
Nawa, Ahla. 2013. Pena Umat Solusi Problematika Umat. Kediri: Lirboyo Press.
RI, Departemen Agama. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mekar Surabaya.


[1] Muhammad bin Adurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2014), hlm. 38.
[2] Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab Majmu’ah Keputusan Bahtsul Masa-iel, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), hlm. 9.
[3] Hadits Aplikasi, Kitab 9 Imam Hadits. Hadits Bukhari no. 285.
[4] Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab…, hlm. 9.
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), hlm. 44.
[6] Muhammad bin Adurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab…., hlm. 38.
[7] Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab…, hlm. 11.
[8] A Mustofa Bisri, Fikih Keseharian Gus Mus, (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 113.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...,hlm. 37.
[10] Ibid., hlm. 107-108.
[12] Moh Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, (Kudus: Menara Kudus, 1977), hlm. 11.
[13] Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab…, hlm. 29.
[14] Ibid., hlm. 30.
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...,hlm. 493.
[16] Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab…, hlm. 30.
[17] Syeikh Al-Imam Al-Alim Al-Alamah Syamsuddin Abu Abdillah, diterjemahkan oleh Imron Abu Amar, Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), hlm. 13
[18] Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab…, hlm. 30-31.
[19] Muhammad Munawwir Ridhwan, Fiqih Instant Referensi Pilihan Teraktual, (Kediri: Lirboyo Press, 2015), hlm. 30.
[20] Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab…, hlm. 31.
[21] Ahla Nawa, Pena Umat Solusi Problematika Umat, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hlm. 64.
[22]  Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab…, hlm. 33.
[23]  Ibid., hlm. 105.
[24] Ibid., hlm. 106.
[25]  Ibid., hlm. 107.
[26] Ibid., hlm. 107-108.
[27] Ibid., hlm. 108.
[28] Ibid., hlm. 106.
[29] Ibid., hlm. 108.

No comments:

Post a Comment