BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring dengan pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
dunia yang serba modern ini, tentu akan mempengaruhi kehidupan di masyarakat.
Kebutuhan masyarakat yang ingin hidup serba modern dan selalu mengikuti trend
perkembangan zaman menimbulkan berbagai problem dalam masalah baik dari sisi
mu’amalah maupun ibadah pada khususnya. Dalam makalah ini kami menyoroti
beberapa kasus yang perlu dibahas sehingga mampu memecahkan problem yang ada.
Adapun permasalahan yang kami soroti dalam makalah ini antara lain tentang
hukum penggunaan obat pengatur siklus haid, penggunaan mukena potongan, dan penggunaan
eskalator dalam melaksanakan ibadah sa’i. Adapaun alasan utama kami membahas masalah tersebut tidak lain
untuk mencari solusi dari masalah yang banyak terjadi dan dilakukan oleh
kalangan masyarakat awam, sehingga dengan adanya pembahasan dari uraian masalah
ini dapat memberikan manfaat bagi semua umat dalam rangka upaya menjadi
masyarakat islami yang hakiki.
B.
Permasalahan
1.
Penggunaan
obat penunda haid, bolehkah?
2.
Pemakaian
mukena potongan dalam shalat, bagaimana hukumnya?
3.
Penggunaan eskalator dalam melakukan ibadah
sa’i, bolehkah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Mengkonsumsi Obat Penunda Haid
1. Deskripsi
Para imam mazhab sepakat bahwa kewajiban shalat gugur bagi perempuan haid,
yaitu selama masa haidnya. Ia tidak dituntut mengqadlanya. Ia juga diharamkan
bertawaf, diam di dalam masjid dan suaminya haram menyetubuhinya hingga haidnya
berhenti.[1]
Haid (menstruasi) adalah kodrat wanita yang tidak
bisa dihindari. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang tertera dalam al-Qur’an
dan Hadits nabi. Problem haid yang sangat beragam, rentan
memunculkan beberapa fenomena yang perlu kita cermati bersama. Satu diantaranya
adalah mengenai hukum mengkonsumsi obat-obatan guna
mempercepat atau menunda siklus haid. Lalu bagaimanakah hukum mengkonsumsi obat-obatan untuk
menunda atau mempercepat siklus haid?
2. Penjelasan
Haid
didefinisikan sebagai darah yang keluar
dari pangkal rahim wanita melalui vagina pada waktu-waktu tertentu, bukan
karena penyakit atau karena pasca persalinan. Haid merupakan kodrat wanita yang
telah digariskan Allah SWT,[2] sebagaimana sabda Rasullah SAW.
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ الْقَاسِمِ قَالَ سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ
سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ خَرَجْنَا لَا نَرَى إِلَّا
الْحَجَّ فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفَ حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قَالَ مَا لَكِ أَنُفِسْتِ
قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ
فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ قَالَتْ
وَضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِسَائِهِ
بِالْبَقَرِ )رواه
البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami ‘Ali
bin ‘Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, Aku
mendengar ‘Abdurrahman bin Al Qasim berkata, Aku mendengar Al Qasim bin Muhammad
berkata, Aku mendengar ‘Aisyah berkata, “Kami keluar dan tidak ada tujuan
selain untuk ibadah haji. Ketika tiba di
Sarif aku mengalami haid, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
masuk menemuiku sementara aku sedang menangis. Beliau bertanya: “Apa yang
terjadi denganmu? Apakah kamu datang haid?” Aku jawab, “Ya.” Beliau lalu
bersabda: “Sesungguhnya
ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita dari anak cucu
Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang haji, kecuali thawaf
di Ka’bah.” ‘Aisyah berkata,
“Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan menyembelih seekor sapi yang diniatkan
untuk semua isterinya”.(HR. Bukhari).[3]
Meski demikian
ada beberapa wanita yang selama hidupnya tidak
pernah mengalami menstruasi, seperti Sayyidah Fatimah ra, putri Rasulullah saw.
Keistimewan yang dianugrahkan Allah SWT kepada beliau tidak lain untuk
memberikan lebih banyak kesempatan dalam meraih pahala ketimbang kaum hawa yang
lain. Sebab, dengan tidak pernah mengalami haid, kesempatan beribadah semakin
luas. Oleh karena itu, Fatimah ra menyandang gelah Al-Zahra (yang
bersinar, bercahaya).
Dalam
memperlakukan wanita yang sedang haid, islam mempunyai ketentuan yang sangat
bijak. Konon, Kaum Yahudi memperlakukan wanita yang sedang haid degan semena-mena. Saat
haid, wania selalu dipisahkan dari kehidupan
mereka seperti makan, minum, atau sekedar kumpul-kumpul bersama keluarga.
Sedangkan umat nasrani sama sekali tiak memperdulikan bahwa haid itu kotor.
Mereka tetap menyetubuhi istri-stri mereka meskipun sedang haid.
Islam sebagai
agama yang sempurna terlihat lebih adil dan bijak dalam menyikapi hal ini. Saat
haid, wanita tetap harus diperlakukan sebagaimana biasa namun tidak
diperkenankan sampai melakukan hubungan intim. Sebagaimana tersurat dalam
firman Allah SWT QS. Al Baqarah: 222.[4]
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh
itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.[5]
Masa minimal
lamanya haid, menurut imam Syafi’I yang paling masyhur dan Hambali, adalah
sehari semalam dan maksimal adalah lima belas hari lima belas malam. Menurut
pendapat hanafi, masa minimal adalah tiga hari dan maksimal adalah sepuluh
hari. Sementara itu, menurut Maliki, tidak ada batas minimal, dan batas
maksimalnya adalah lima belas hari.[6]
3. Jawab
Hukum mengkonsumsi obat-obatan untuk menunda
haid adalah boleh, asalkan tidak menimbulkan dampak negatif pada jiwa atau raga
seseorang.[7] Sidang
Komisi Fatwa MUI tanggal 12 Januari 1979 memutuskan bahwa menggunakan obat
penunda haid adalah mubah bagi wanita
yang sukar mengqadha puasa ramadhan pada hari lain, serta makruh jika untuk menyempurnakan puasa ramadhan, namun dapat
mengqadha pada hari lain tanpa kesulitan.
Dari hasil keputusan diatas berdasarkan
pendapat Ulama Saudi Arabia, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin yang
menyatakan bahwa memperbolehkan menggunakan obat penunda haid dengan dua syarat
yaitu: tidak membahayakan kesehatan dan harus seijin suami. Fatwanya atas dasar
al-Qur’an surat Al-baqarah 195 dan An-Nisa’ 29.[8]
(#qà)ÏÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? öä3ƒÏ‰÷ƒr'Î ’n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡
(#þqãZÅ¡ômr&ur ¡
¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
Artinya: “Dan
belanjakanlah(harta bendamu) di jaln Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.(Al-Baqarah: 195).[9]
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.(An-Nisa’: 29).[10]
Hukum makruh didasarkan pada hadist Nabi yaitu, Rasulullah bersabda:” Barang
siapa yang berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan
yang diberikan Allah, maka tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa
walaupun ia betul-betul melakukannya” (HR. Abu Dawud). Maksudnya, orang
mengqadha’ akibat buka puasa atas dasar udhur, maka qadha’nya sama dengan puasa
dibulan ramadhan.
Tujuan utama
penetapan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik
di dunia maupun di akhirat. Yusuf al-Qardhawi menggambarkan bagaimana eratnya
hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Dalam kajian fiqh, salah satu
metode istinbath hukum Islam yang lebih banyak menekankan aspek maslahat dalam
pengambilan keputusan hukumnya adalah maslahah
mursalah. Salah satu persyaratan maslahah mursalah, yaitu tidak
adanya dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya. Sehingga, dalam
masalah hukum menunda haid, dimana tidak terdapat nash yang mengaturnya, maka
argumentasi para ulama dalam merumuskan hukum mengenai hal itu dibangun
berdasarkan metode maslahah mursalah.[11]
Terhadap masalah tersebut berlaku kaidah:
الأصل فى الأشياء الاِباحة حتّى يدلّ الدّليل على التحريم
“Hukum
asal dari segala sesuatu itu boleh, kecuali yang ada dalil yang
mengharamkannya”.[12]
Berkaitan dengan kasus tersebut,
jelas tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sehingga dengan dasar ini hukum
kemubahan obat penunda haid dirumuskan.
Meskipun demikian, hal itu masih mungkin
menjadi haram akibat faktor lain, misalnya karena membahayakan kesehatan. Sehingga, Ibnu
Utsaimin merumuskan fatwanya berpegang pada nash al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 195.
Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat penunda haid untuk ibadah
adalah mubah, dan makruh apabila hanya ingin menyempurnakan puasa ramadlan,
karena dianggap malas mengqadla di luar ramadlan, dan haram apabila itu dapat
membawa madlarat bagi dirinya.
B.
Problematika Pemakaian Mekena Potongan
1. Deskripsi
Dunia mode kini
semakin berkembang dengan cepat. Tidak hanya pada
pakaian pesta atau trend busana remaja saja, mode juga merambah pada baju
muslimah bahkan mukena yang digunakan untuk ibadah shalat.
Bagi kalangan
muslimah muda khususnya, mereka cenderung lebih suka memakai mukena potongan
(atasan dan bawahan) dilengkapi dengan pernak-pernik disana sini untuk
memperindah pandangan. Mereka tidak menatap kenyataan lebih jauh bahwa dengan
memakai mukena potongan, dagu tidak tertutup dengan baik, dengan pergelangan
tangan, lengan serta leher bisa tampak dari bawah saat ia rukuk. [13]
Bagaimanakah cara menutup aurat dalam shalat yang benar menurut fiqih bagi
kaum muslimah dan bagaimana fiqih menaggapi fenomena diatas?
2. Penjelasan
Dalam persoalan menutup aurat wanita memiliki kenentuan yang ketat
ketimbang laki-laki. Utamanya
batas-batas aurat hingga cara menutupnya. Perbedaan itu tampak jelas dalam
firman Allah SWT yaitu dalam QS. An-Nur: 30-31.[14]
@è% úüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäót ô`ÏB ôMÏdÌ»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4 y7Ï9ºs 4s1ør& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁt ÇÌÉÈ @è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ (
Artinya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya”.(Qs. An-nur:30-31).[15]
Pada poin kata “Ma dzahara minha” Sayyidina Ibn Abbas memberi
kejelasan bahwa maksudnya adalah perhiasan yang tampak pada telapak tangan dan
wajah inilah batas aurat wanita, yakni seluruh tubuh selain wajah dan telapak
tangan. Sedangkan aurat laki-laki hanyalah anggota tubuh diatara lutut dan
pusar. Rasulullah saw bersabda:
عَوْرَةُ الرَّجُلِ
مِنْ سُرَّتِهِ اِلَى رُكْبَتِهِ
Artinya: “Aurat
laki-laki adalah dari pusar samapai lututnya”. (Hr. Al-haitami).
Dengan demikian,
dalam shalat, seorang wanita harus menutup seluruh anggota tubuhnya selain
wajah dan telapak tangan.[16]
Batas wajah sebagaimana dalam wudhu adalah antara tempat tumbuhnya rambut
kepala hingga ujung tulang rahang bawah. Sedangkan lebar wajah adalah antara
telinga kanan dan kiri. Sedangkan telapak tangan adalah bagian telapak tangan
luar maupun dalam selain pergelangan tangan.[17]
Dari
batas-batas ini dapat dipahami bahwa rambut kepala dan dagu termasuk aurat yang
wajib ditutup. Pergelangan tangan juga termasuk aurat yang wajib tertutup saat
shalat. Oleh karenanya, cara pemakaian mukena yang tepat adalah dengan
menambahkan kain (kerudung) untuk menutup sebagian kening agar rambut kepala
bagian depan tidak terbuka dengan gerakan-gerakan shalat. Mukena bagian dagu
juga harus ditarik kedepan sampai dibawah bibir, dan sebagian telapak tangan
juga harus tertutup. Semua ini dilakukan sebagai langkah antisipasi, demi
menjaga sempurnanya pelaksaan kewajiban.
مَا لاَ يَتِمُّ
اْلوَاجِبُ اِلَّابِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya: “Sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya kewajiban adalah wajib
pula”.
Dalam
pelaksanaan shalat, aurat harus tertutup (tidak terlihat dari semua arah selain
bawah). Sedangkan terlihatnya aurat dari arah bawah tidak menyebabkan batalnya
shalat, yakni dari bawah lutut bagi pria dan bawah telapak kaki bagi wanita.[18]
Maksud arah
atas bagi laki-laki adalah menutupi pusar serta anggota yang lurus dengan
pusar. Untuk arah bawah, dimulai dari lutut serta anggota yang lurus dengan
lutut. Sedangkan arah samping adalah tertutupnya semua anggota antara pusar dan
lutut. Mengenai arah atas bagi perempuan adalah menutupi kepala, pundak dan
sisi samping wajahnya. Untuk arah bawahnya, bagian arah yang terletak dibawah
telapak kakinya. Sedangkan arah sampingnya, semua anggota aurat diantara kepala
dan kaki perempuan.[19]
Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa terlihatnya pusar dari lubang baju
pada bagian leher, atau dari sela-sela kancing baju dapat membatalkan shalat,
sedangkan terlihatnya lutut atau paha dari lubang sarung bagian bawah tidak
membatalkan shalat. Dapat disimpulkan pula bahwa terlihatnya leher atau lengan
tangan kaum wanita yang memakai mukena potongan saat rukuk seperti fenomena
diatas, dapat menyebabkan batalnya shalat. Demikian menurut pendapat ulama’
syafi’iyyah.[20] Kecuali jika mengikuti madzhab Hanafiyyah dan
Malikiyyah yang berpedapat bahwa terbukanya dagu tidak membatalkan sholat.[21]
Dengan demikian, jika hal ini dilakukan oleh wanita awam yang tidak
mengetahui bagaimana cara taqlid kepada madhab Syafi’I, maka shalatnya tidak
batal. Sebuah kaidah :
العَامِي لاَ
مَذْهَبَ لَهُ
Artinya: “ orang awam itu tidak ada madhab
baginya “.
Maksud kaidah ini adalah setiap perilaku orang awam, asalkan sesuai dengan
salah satu pendapat ulama madzhab siapapun, meskipun ia tidak menyadari atau
memahaminya maka prilaku tersebut dapat dibenarkan.
3. Jawab
Maka berdasarkan penjelasan di atas cara menutup aurat bagi kaum wanita
pada saat shalat adalah dengan tertutupnya seluruh anggota tubuh selain wajah
dan telapak tangan dari segala arah selain bawah telapak kaki. Sehingga terlihatnya dagu, leher, pergelangan tangan atau lengan,
saat shalat memakai mukena potongan dapat membatalkan shalat. Kecuali jika ia
tergolong orang awam, maka konsekuensi hukumnya berbeda. [22]
C.
Sa’i Menggunakan Escalator
1. Deskripsi
Jamaah haji
tiap tahunnya terus bertambah, lokasi masjid al-haram pun direncanakan akan
diperluas. Renovasi beberapa tempat ibadah yang perlu akan segera dilaksanakan
dengan tujuan mempermudah pelaksanaan ibadah dan menghindari resiko yang rawan
terjadi karena jamaah yang berdesakan. Salah
satunya, pemerintah Saudi Arabia bermaksud membuat escalator antara Shafa
dan Marwah dengan maksud untuk mempermudah pelaksanaan sa’i bagi jamaah
haji yang tidak mampu melaksanakan sa’i dengan jalan kali.[23]
Maka dari itu Bisakah tindakan pemerintah Arab Saudi jika benar-benar
terlaksana, dibenarkan menurut pandangan fiqh? dan Sahkah pelaksanaan sa’I
dengan menggunakan escalator tanpa berjalan kaki?
2. Penjelasan
a. Tindakan pemerintah Arab menurut fiqh.
Pemerintah diangkat atas dasar menjaga kemaslahatan rakyatnya, sehingga
segala sesuaatu yang dilakukan oleh pemerintah harus terdapat unsur mashlahat
bagi rakyatnya. Hal ini
bertendesi pada hadits sahabat Umar ra yang diriwayatkan oleh Sa’id ibn
Manshur:
قال
عُمَرُ رضى الله عنه إنى آنْزَلَتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ الله بِمَنْزِلَةِ وَاِلَى
اليَتِيْمِ إنْ إحْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَاِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَاِن
اسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ
Artinya: sahabat Umar berkata: aku menempatkan
diriku dari harta-harta Allah pada tempat orang yang menjaga hartanya anak
yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambilnya, dan jika aku telah kaya aku
akan mengembalikannya. Jika aku tidak mengambilnya maka aku
telah menjaga diriku (HR. Sa’id ibn Manshur).[24]
Selain itu juga
senada dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
تَصَرُّفُ
اْلإمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِاْلمَصْلَحَةِ
Artinya: kebijakan imam atas rakyatnya tergantung pada
kemaslahatan.
Dengan
demikian, pemasangan eskalater di area sa’i oleh pemerintah Saudi dapat
dibenarkan. Sebab, kebijakan pemerintah Saudi di atas dipandang mengandung
kemashlahatan bagi jamaah yang tidak mampu untuk melakikan sa’i dengan berjalan
kaki.
b. Hukum melakukan sa’i dengan eskalator.
Sa’i;
berjalan diantara bukit shafa dan marwah merupakan salah satu dari empat rukun
haji. Berdasarkan hadits Rasulullah saw:
يَا
أيُّهَا النَّاسُ اُسْعُوا فَإنَّ السَّعْىَ قَدْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ
Artinya: Wahai manusia lakukanlah sa’I karena sesungguhnya sa’I
telah diwajibkan bagi kalian semua. (HR. al-Daruqutni).
Ada empat
syarat yang harus terpenuhi dalam pelaksanaan sa’i diantaranya:
1)
Dilaksanakan
setelah thawaf
2)
Menempuhnya
sejauh tujuh putaran
3)
Dimulai
dari bukit shafa
4)
Dilanjutkan
dari bukit marwah[25]
Perkembangan
teknologi yang merambah kewilayah tata laksana sa’i
dengan memunculkan praktek sa’i menggunakan
escalator merupakan salah satu permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama.
Syafi’iyah menyatakan hal ini tidak bermasalah. Hanya saja ketika dilakukan
dengan tanpa adanya udzur, maka hukumnya menyalahi tatacara yang utama (khilaf
al-aula). Pendapat Syafi’iyah ini dilatarbelakangi oleh kenyataan sejarah
bahwa rasulullah pernah juga melaksanakan sa’I dengan kendaraan, tidak dengan
berjalan kaki pendapat Syafi’iyah senada dengan imam Malik dan imam ‘Atho.[26]
Sedang menurut
imam Mujahid, jika tidak dalam kondusi dlarurat, maka sa’i harus dilakikan
dengan berjalan kaki. Sementara imam Abu Hanifah memberikan argumen yang lebih
berat dengan cara membebankan kewajiban untuk mengulangi sa’i jika masih
mungkin mengulanginya. Jika tak lagi memungkinkan mengulanginya, maka pelaksana
sa’i dengan eskalator harus membayar dam setelah ia kembali ketanah
airnya.[27]
3. Jawab
a.
Dari penjelasan di atas maka jawabannya adalah
tindakan pemerintah Arab Saudi dapat dibenarkan, karena bertujuan untuk memberi
kemudahan kepada jama’ah yang tidak mampu berjalan kaki. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Saudi adalah kebijakan yang
sesuai dengan prinsip maslahah bagi rakyatnya.[28]
b. Hukum pelaksanaan sa’i dengan eskalator tanpa berjalan kaki terjadi khilaf.
Menurut imam Abu Hanifah, hal tersebut tidak diperbolehkan, jika dilakukan,
maka sa’i harus diulangi. Jika tidak lagi memungkinkan untuk mengulanginya,
maka wajib membanyar dam (denda). Sedang
menurut Imam Mujahid, diperbolehkan kalau memang ada hal-hal
yang medesak (dlarurat). Dan menurut kalangan Syafi’iyah mutlak diperbolehkan,
namun termasuk hal yang menyalahi keutamaan (khilaf al-aula).[29]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum penggunaan obat penunda haid untuk ibadah adalah mubah, dan makruh
apabila hanya ingin menyempurnakan puasa ramadlan, karena dianggap malas
mengqadla di luar ramadlan, dan haram apabila itu dapat membawa madlarat bagi
dirinya.
2. Cara menutup aurat bagi kaum wanita pada saat shalat adalah dengan
tertutupnya seluruh anggota tubuh selain wajah dan telapak tangan dari segala
arah selain bawah telapak kaki. Sehingga
terlihatnya dagu, leher, pergelangan tangan atau lengan, saat shalat memakai
mukena potongan dapat membatalkan shalat. Kecuali jika ia tergolong orang awam.
3. Tindakan pemerintah Arab Saudi dapat dibenarkan, karena bertujuan untuk
member kemudahan kepada jamah yang tidak mampu berjalan kaki. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Saudi adalah kebijakan yang
sesuai dengan prinsip maslahah bagi rakyatnya. Dan Hukum pelaksanaan sa’i dengan eskalator
tanpa berjalan kaki terjadi khilaf. Menurut imam Abu Hanifah, hal tersebut
tidak diperbolehkan, jika dilakukan, maka sa’i harus diulangi. Jika tidak lagi
memungkinkan untuk mengulanginya, maka wajib membanyar dam. Sedang
menurut Imam Mujahid, diperbolehkan kalau memang dlarurat. Dan menurut kalangan
Syafi’iyah mutlak diperbolehkan, namun termasuk hal yang menyalahi keutamaan.
B. Penutup
Demikian makalah yang telah disusun oleh kelompok kami, tentunya masih
banyak kekurangan dalam penyusunan maupun isinya, karena terbatasnya
pengetahuan yang ada dan kurangnya referensi yang ada hubungannya dengan judul
makalah ini. Penulis berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kritik yang membangun kepada penulis demi perbaikan makalah
ini. Semoga dengan
makalah ini, dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan
bagi penulis pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdillah, Syeikh Al-Imam Al-Alim Al-Alamah Syamsuddin. 1983.
diterjemahkan oleh Imron Abu Amar, Fathul Qarib. Kudus: Menara Kudus.
Ad-Dimasyqi,
Muhammad bin Adurrahman. 2014. Fiqih
Empat Madzhab, diterjemahkan
oleh Abdullah Zaki Alkaf. Bandung:
Hasyimi.
Bahtsul Masa-iel, Team Kodifikasi. 2010. Santri Lirboyo Menjawab
Majmu’ah Keputusan Bahtsul Masa-iel. Kediri: Pustaka Gerbang Lama.
Bisri, Moh
Adib. 1977. Al
Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh. Kudus: Menara Kudus.
Bisri,A Mustofa. 2005. Fikih
Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista.
Hadits
Aplikasi, Kitab 9 Imam Hadits.
Munawwir
Ridhwan, Muhammad. 2015. Fiqih
Instant Referensi Pilihan Teraktual. Kediri: Lirboyo
Press.
Nawa, Ahla.
2013. Pena Umat Solusi Problematika Umat. Kediri:
Lirboyo Press.
RI, Departemen
Agama. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya:
Mekar Surabaya.
http://sitimunasiroh94.blogspot.co.id/2014/04/hasil-keputusan-mui-pada-tanggal-12.html.
Diakses pada 3 Maret 2016. Pukul
10: 47.
[1]
Muhammad bin Adurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, diterjemahkan
oleh Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2014), hlm. 38.
[2]
Team Kodifikasi Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab Majmu’ah Keputusan
Bahtsul Masa-iel, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), hlm. 9.
[3]
Hadits Aplikasi, Kitab 9 Imam Hadits. Hadits Bukhari no. 285.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mekar
Surabaya, 2004), hlm. 44.
[9] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...,hlm. 37.
[10] Ibid.,
hlm. 107-108.
[12] Moh
Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, (Kudus: Menara
Kudus, 1977), hlm. 11.
[14] Ibid.,
hlm. 30.
[15] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...,hlm. 493.
[17]
Syeikh Al-Imam Al-Alim Al-Alamah Syamsuddin Abu Abdillah, diterjemahkan oleh Imron Abu Amar,
Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), hlm. 13
[19] Muhammad
Munawwir Ridhwan, Fiqih Instant Referensi Pilihan Teraktual, (Kediri:
Lirboyo Press, 2015), hlm. 30.
[24] Ibid.,
hlm. 106.
[26] Ibid.,
hlm. 107-108.
[27] Ibid.,
hlm. 108.
[28] Ibid.,
hlm. 106.
No comments:
Post a Comment