DIPLOMASI KAUM QURAISY DAN PENCARIAN SUAKA POLITIK
KE HABSYI
Makalah
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sirah Nabawiyah
Dosen Pengampu: Mualimul Huda, M.Pd.I
Kelas F-2/PAI
Disusun oleh :
Thuadi : 1310110234
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH
/ PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mekkah
berpijar dengan api kemarahan, bergolak dengan keanehan dan pengingkaran,
tatkala mereka mendengar suara yang memperlihatkan kesesatan orang-orang
musyrik dan para penyembah berhala. Suara itu seakan-akan petir yang membelah
awan, berkilau, menggelegar dan mengguncang udara yang tadinya tenang.
Orang-orang Quraisy bangkit untuk menghadang revolusi yang datang secara tak
terduga ini, dan yang dikhawatirkan akan merusak tradisi warisan mereka.
Dengan
ancaman yang selalu datang bertubi-tubi kepada kaum muslim, membuat nabi
Muhammad merasa sudah saatnya umat muslim mendapatkan tempat yang aman juga
ajaran agama yang dibawanya tetap bisa bertahan dan berkembang di bawah tekanan
kaum Quraisy. Namun untuk mendapatkan perlindungan dari kaum Quraisy Makkah,
kaum muslimin tidak begitu saja mendapat kemudahan, banyak tantangan dan
rintangan yang harus hadapi.
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai kondisi kaum muslim sebelum hijrah ke
Habasyah serta perjuangan dan kejadian-kejadian yang menyertainya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan
umat islam sebelum hijrah ke Habsyi?
2. Bagaimana pencarian suaka politik ke
Habsyi yang pertama?
3. Bagaimana pencarian suaka politik ke
Habsyi yang ke dua?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Keadaan
Umat Islam Sebelum Hijrah Ke Habsyi
Berbagai rintangan dan tantangan terus dihadapi kaum muslim di Makkah.
Diantara rintangan dan gangguan seperti pukulan, siksaan, hinaan, cacian,
ejekan serta tipu daya yang dilakukan kaum Quraisy terhadap nabi. Makin hari
siksaan, ritangan dari kaum Quraisy makin menjadi-jadi. Namun semangat dakwah
nabi Muhammad makin hari makin berkobar sehingga jumlah kaum muslim semakin
berkembang. Sikap kaum Quraisy yang brutal malah dijadikan nabi sebagai cambuk
semangat untuk makin semangat dalam dakwahnya.[1]
Kaum musyrikin
mengira bahwa perlakuan kejam terhadap kaum yang lemah akan dapat menjauhkan
mereka dari ajakan dan dakwah Rasulullah SAW. Mereka mengira bahwa ejekan dan
penghinaan yang mereka lancarkan akan dapat mematahkan kekuatan moral kaum
muslimin, hingga mereka akan merasa malu memeluk islam, kemudian kembali kepada
agama nenek moyng mereka. Perkiraan mereka ternyata meleset, tak seorang pun
dari kaum muslimin yang berbalik meninggalkan kebenaran yang telah mereka
terima dari Allah SWT. Bahkan jumlah mereka semakin meningkat. Ejekan dan
cemoohan kaum musrikin itu terbukti tidak sanggup menjauhkan orang dari jalan Allah
dan tidak pula dapat menghancurkan identitasnya.[2]
Adanya
berbagai rintangan dan gangguan berupa fitnah yang dilakukan kaum musyrikin Quraisy
terhadap nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya
ternyata tidak meghasilkan apa-apa. Kaum Quraisy kemudian mengupayakan siasat
baru. Kaum Quraisy mengadakan pertemuan untuk menunjuk salah seorang utusan
diantara mereka untuk menghadap Nabi SAW dengan maksud membujuk beliau supaya
mau menghentikan seruannya.
Musyawarah dilangsungkan di Darun
Nadwah dikunjungi oleh para pemuka bangsa Quraisy.[3] Sesudah di
musyawarahkan secara matang dan suara bulat, mereka memutuskan bahwa orang yang
pantas sebagai utusan adalah Utbah bin Rabi’ah, karena dialah yang dipandang
tepat dan sesuai untuk berberhadapan dengan Muhammad bin Abdullah.
Utbah kemudian pergi ke rumah Abu
Thalib untuk memintanya memanggil Muhammad SAW ke rumahnya. Abu Thalib dengan
segera menyuruh seseorang
untuk memanggil keponakannya, setelah itu Nabi datang ke rumah Abu Thalib.[4] Kemudian terjadilah percakapan antara Utbah dan nabi
Muhammad yang intinya Utbah dan kaum Quraisy ingin kaum Quraisy dan kaum muslim bersatu kembali,
se-ia sekata dan kembali berdamai seperti sebelumnya. Dengan tawaran harta
benda, ketinggian derajat, perempuan yang cantik, menjamin keselamatan dan
kesehatan nabi. Namun itu semua dengan imbalan nabi Muhammad dan kaum muslim
harus kembali ke agama nenek moyang yaitu menyembah berhala.
Nabi Muhammaad hanya diam ketika Utbah menawwarkan
itu semua, kemudian nabi membacakan QS. Fushilat:1-14 sebagai jawaban atas semua tawaran Utbah
dan kaum Quraisy.[5] Baru
sekian Nabi SAW membacakannya dengan segera
Utbah menegur dan berkata,”Cukuplah Muhammad, cukuplah sekian dulu Muhammad, cukuplah
sekian saja. Apakah engkau dapat menjawab dan berkata selain dari itu.
Nabi menjawab,
“Tidak.”
Utbah lalu diam
dan tidak dapat berkata lagi. Semua yang hendak dikatakannya hilang, musnah
dengan sendirinya, segala rencana yang hendak dikemukakannya, lenyap tanpa
disangka-sangka, bahkan hatinya sangat tertarik akan bacaan yang didengarya
dari nabi. Kemudian ia pulang
kerumahnya dengan memendam perasaan yang sebelumnya tidak dimilikinya.
Demikianlah perasaan yang terkandung dalam hati sanubari Utbah bin Robi’ah
ketika itu.[6]
Utbah kembali
kerumahnya dengan perasaan yang mengganggu dan hati yang sangat sedih, dia
tidak berani keluar dari rumah menunjukkan mukanya pada mereka yang mengutusnya
karena sangat malu menampakkan kegagalannya pada mereka.
Para pemuka
musyrikin Quraisy kemudian datang kerumahnya untuk menanyakan tentang hasil yang
diperolehnya. Namun dengan
sangat terpaksa ia harus mengungkapkan apa yang sudah dikerjakannya
sebagai utusan yang dipercaya. Mendengar ucapan Utbah para pemuka Quraisy tidak
bisa menerimanya lalu mereka kembali menyuruh Utbah untuk menemui Nabi Muhammad.[7]
Pada suatu
hari, Utbah bin Robi’ah datang kepada nabi Muhammad SAW dengan membawa usul
yang menurut perasaannya lebih baik dan lebih tajam untuk dikemukakan kepada
beliau.
Utbah berkata: ”Jalan
yang terbaik untukmu dan para pengikutmu sekarang demi untuk kepentingan bangsa
dan negara, adalah hendaklah kita bersama menyembah apa yang selamanya kami
sembah dan telah menjadi sesembahan nenek moyang terdahulu selama satu tahun
saja, kemudian nanti selama satu tahun yang berikutnya kami akan menyembah pula
tuhanmu yang selalu kamu puja dan kamu sembah. Kemudian setelah satu tahun bila
tuhan yang kami sembah lebih baik dari pada tuhan yang kamu sembah maka
hendaklah kamu meneruskan menyembah tuhan kami. Bila tuhan yang kamu sembah
lebih baik dari tuhan kami, maka kami hendak menyembah tuhan yang kamu sembah.
Hal ini untuk menjaga persatuan dan persaudaraan kita bersama.”
Pada waktu itu
Nabi Muhammad tidak menjawab sepatah katapun, oleh sebab itu Allah menurunkan
wahyu QS. Al kafirun dan QS. Az-Zumar: 64-66 kepada
nabi SAW untuk menjawab usul yang dikemukakan Utbah.[8]
Selanjutnya
Nabi berkata kepada Utbah, Hendaklah engkau jangan menyangka bahwa aku akan
mengikuti kehendak atau keinginan kamu supaya aku mempersekutukan Allah. Amat
jauhlah aku dari perbuatan semacam itu.
Setelah Utbah
menerima jawaban yang demikian tegas, dengan segera ia kembali dengan hati yang
gundah dan penuh kekhawatiran, kalau-kalau ia dianggap berdusta dan tidak
dipercaya lagi oleh mereka yang mengutusnya. Setelah itu Utbah memutuskan
sendiri untuk menemui Nabi SAW lagi. Namun, akhirnya Utbah bin Rabi’ah pun
gagal kembali untuk menaklukkan Nabi Muhammad SAW. Ketika ia ditanya oleh para
pengutusnya, ia hanya menjawab, “Aku tidak akan dapat menaklukkan Muhammad,
jangankan disuruh menaklukkan, membantah saja aku tidak sanggup”.[9]
Pada suatu
hari, para pemuka Quraisy mengadakan musyawarah yang kedua kalinya. Utbah bin
Rabi’ah hadir dalam musyawarah itu. Musyawarah yang kedua ini pun dilangsungkan
di Darun Nadwah dan dihadiri oleh semua pemuka musyrikin Quraisy.
Sesudah mereka
mengetahui bahwa Utbah sudah putus asa dan tidak sanggup lagi menggunakan
siasatnya yang ulung, mereka kemudian merundingkan cara dan jalan lain yang
digunakan untuk merintangi seruan Nabi SAW. Sesudah dimusyawarahkan dengan
suara bulat, mereka memutuskan bahwa mereka akan datang kepada Muhammad bin
Abdullah dengan maksud hendak mengejek, menertawakan, dan menghina Nabi SAW.
Demkianlah putusan yang diambil dalam musyawarah mereka yang kedua kalinya.[10]
Maka kembali
lagilah mereka memusuhi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan menimpakan
bermacam-macam bencana, yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam
perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu Hasyim dan Banu
al-Muttalib. Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai
ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. [11]
B.
Hijrah Ke Habsyah
1.
Hirah yang Pertama
Pada
masa itu, semakin bertambahnya hari maka makin bertambah juga pengikut nabi,
namun rintangan yang dihadapi makin besar pula. Jika Muhammad bukanlah seorang
nabi yang dibawa oleh Allah, yang hatinya benar-benar terpelihara, niscaya akan
terpengaruh dan terperdaya oleh bujuk rayu kaum Quraisy.[12]
Meskipun menghadapi bermacam-macam ujian dan rintangan, pendirian beliau tetap
teguh dan iman beliau kepada Allah sangat kuat dan tebal.[13]
Setiap
hari beliau menyaksikan kaum muslim terus-menerus dianiaya, diperlakukan
sewenang-wenang. Langkah beliau untuk menghadapi tekanan ini adalah melarang
orang muslim menampakkan keislamannya. Kecuali Rasulullah yang tetap
menampakkan dakwah keislamannya. Sekalipun begitu, orang muslim mengadakan
pertemuan dengan sembunyi-sembunyi di rumah Al-Arqam bin Abil-Arqam Al-Makhzumy
berada di atas bukit Shafa dan terpencil.[14]
Namun
lambat laun siksaan kaum Quraisy terus berlangsung dan semakin keji, hingga
mereka merasa sempit dan terjepit, mereka mulai berfikir untuk mencari jalan
keluar dari siksaan yang pedih ini. Dalam kondisi yang sempit dan terjepit ini
turun QS. Al-Kahfi : 16.[15]
ÏÎ)ur öNèdqßJçGø9utIôã$# $tBur crßç6÷èt wÎ) ©!$# (#ÿ¼ãrù'sù n<Î) É#ôgs3ø9$# ÷à³^t ö/ä3s9 Nä3/u `ÏiB ¾ÏmÏGyJôm§ ø×Ähygãur /ä3s9 ô`ÏiB /ä.ÌøBr& $Z)sùöÏiB ÇÊÏÈ
“Dan
apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, Maka
carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan
sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam
urusan kamu.”[16]
Akhirnya beliau memerintahkan kaum muslim
untuk hijrah keluar Makkah yaitu ke Habasyah[17]
setelah mendapatkan perintah dari Allah swt.[18]
Rasulullah
sudah tahu bahwa raja yang berkuasa di Habasyah yaitu Ashhamah An-Najasyi
adalah seoranga raja yang adil, tidak akan ada seorang pun yang akan teraniaya
di sisinya. Oleh karena itu beliau memerintahkan untuk hijrah dengan tujuan
selain menghindari siksaan kaum Quraisy juga membawa agama yang dianut kaum
muslim agar terus berkembang.[19]
Pada
bulan Rajab tahun kelima dari nubuwah, sekelompok sahabat yang ditunjuk nabi
hijrah yang pertama kali ke Habasyah, terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4
orang wanita, yang dipimpin oleh Utsman bin Affan. Dengan berjalan
mengendap-ngendap mereka berjalan satu persatu atau dengan istrinya menuju
pinggir pantai. Secara kebetulan saat mereka tiba di pelabuhan Syaibah, ada dua
kapal datang yang bertolak ke Habasyah. Mereka menyewa kapal tersebut untuk
bertolak ke Habasyah. Setelah orang Quraisy mengetahui kepergian orang muslim ini, mereka segera mengejar.
Tapi tatkala mereka tiba di pinggir pantai, orang muslim sudah bertolak dengan
selamat. Namun kepulangan orang Quraisy yang gagal mencegah kaum muslim hijrah
membuat kekerasan bagi muslim yang masih di Makkah semakin menjadi-jadi.[20]
Sesampainya
disana orang muslim hidup dengan aman sejahtera dan mendapat perlakuan yang
baik. Setelah kurang lebih tiga bulan lamanya, kaum muslim kembali ke Makkah
pada pertengahan bulan Syawwal tahun ke 5 kenabian. Mereka pulang ke Makkah
karena mendengar berita bahwa kaum Quraisy yang selalu menghalangi pergerakan
nabi, telah takluk dan tidak ada seorangpun yang ketinggalan mengikuti seruan
nabi. Tetapi ini adalah berita bohong yang dibuat orang Quraisy. Adapun sebab
munculnya kabar itu ialah peristiwa ketika nabi membaca QS. An-Najm dimasjid,
para pemuka Quraisy mendengar bahwa salah satu bacaan nabi ada yang memuji-muji
tuhan mereka. Ketika bacaan nabi selesai, beliau bersujud dan diikuti oleh kaum
muslimin yang mendengarnya dikala itu, maka kaum musrikin juga ikut bersujud.
Selain
itu mereka juga tidak mengerti bahasa Habasiyah, sehingga mereka tidak bisa
bergaul selama disana. Ketika muslim sudah sampai Makkah, mereka baru sadar
kalau Makkah masih dikuasai oleh Quraisy, dan kekejaman kaum Quraisy terhadap
kaum muslim yang masih tingal di Mekkah. Bahkan kekejamannya bertambah besar.[21]
2.
Hijrah yang kedua
Hasil rapat pemuka Quraisy yang dilangsungkan di Darun Nadwah
memutuskan bahwa Muhammad harus dibunuh. Namun pembelaan Abu Thalib terhadap
nabi Muhammad SAW secara ketat membuat
mereka tidak dapat menjalankan keputusan mereka untuk membunuh nabi.
Kemudian dengan diam-diam mereka mengadakan musyawarah lagi untuk merundingkan
cara membunuh Nabi SAW, akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan pemboikotan
terhadap keluarga bani Hasyim dan bani Muthallib serta semua kaum muslimin.[22]
Isi pemboikotan itu antara lain sebagai berikut:
1.
Larangan menikah
2.
Larangan jual beli
3.
Dilarang menjalin persahabatan atau pergaulan
4.
Dilarang mengasihi dan menyayangi Muhammad dan kaumnya
5.
Undang-undang yang telah ditetapkan ini sesudah ditulis dan
digantungkan di dalam ka’bah, ditetapkan sebagai undang-undang suci kaum
Quraisy dan keluarga Muhammad serta pengikutnya.
6.
Undang-undang ini berlaku selama keluarga bani Hasyim dan bani
Muthallib belum menyerahkan Muhammad kepada kaum Quraisy untuk dibunuh.
Bilamana nabi Muhammad sudah diserahkan kepada mereka, undang-undang ini tidak
berlaku lagi.[23]
Setelah Nabi mengetahui pemboikotan dan juga siksaan terhadap kaum
muslim semakin menjadi-jadi, maka Nabi mengutus kepada kaum muslimin untuk hijrah
kedua kalinya ke Habsyah dengan kepala robongan sahabat Ja’far bin Abi Thalib,
rombongan tersebut berjumlah 101 yang terdiri dari 83 orang laki-laki dan 18
orang perempuan.
Setelah kaum muslimin di Yaman mendengar berita bahwa nabi Muhammad
beserta pengikutnya hijrah ke Habsyah, merekapun menyusul ke Habsyah dengan
kepala rombongan Abu Musa al-Anshari, rombongan tersebut berjumlah lima puluh
orang, tetapi karena beliau tidak ikut berhijrah maka mereka tidak bertemu
dengan beliau. Akhirnya Ja’far bin Abi Thalib selaku kepala rombongan meminta
mereka berdiam dulu di negeri Habsyah untuk sementara waktu, merekapun akhirnya
menuruti permintaan Ja’far bin Abi Thalib.[24]
Sesudah kaum musyrikin Quraish mendengar berita hijrah ke Habsyi
untuk kedua kali, mereka melakukan pertemuan kilat. Dari pertemuan tersebut mereka
sepakat mengirim dua orang pemuka Quraisy yang terpandang dan cerdas untuk
menghadap Raja Habsyah dengan membawa hadiah berupa barang-barang berharga dan
dengan tujuan memohon supaya kaum muslimin supaya dikembalikan kepada kaum
Quraisy yang di Makkah dan diusir dari daerah kekuasaannya. Adapun dua orang
tersebut adalah Amr bin Ash dan Amrah bin Walid, yang keduanya berasal dari
negeri Quraisy juga.
Setelah kedua
utusan kaum Quraisy sampai di Habsyah, mereka segera menemui raja dengan
membawa hadiah dan mengemukakan maksud kedatangan mereka untuk mencari penyusup
yang bersembunyi di negeri Habsyi, mereka bahkan mengarang cerita yang
jelek-jelek mengenai rombongan kaum muslimin yang berhijrah di Habsyi. Amr bin
Ash juga menghasut raja untuk mengusir mereka dan menyerahkan atas perwalian
dirinya karena jika tidak demikian agama dan kesejahteraan negeri Habsyah
terganggu.[25]
Dengan segera
raja memerintahkan kepada perajuritnya untuk mencari dan menghadapkan kaum
muslimin itu kepada raja. Ketika raja telah memerintahkan hal tersebut,
pembesar istana, Amr bin Ash, dan para pendeta menghasut, dari mulai usulan
agar setelah para penyusup tertangkap langsung diserahkan kepada para pembesar
kaum musyrikin Quraisy sampai cerita yang sengaja dikarang untuk menjelekkan
kaum muslimin.
Namun raja
menolak dengan alasan ingin mengetahui keadaan mereka dan memahami permasalahan
mereka. Tidak sampai disitu, Amr bin Ash kemudian menyebarkan fitnah dengan
mengatakan bahwa penyusup itu merupakan seorang pendusta. Setelah itu ada pula
seorang pendeta menghadap ke raja dan mengungkapkan hal yang sama dengan yang
dikatakan Amr bin Ash. Namun begitu raja
teguh pendirian untuk menemui kaum muslim dan menanyakan alasan mereka
bersembunyi di negeri Habsyah.
Pada saat kaum
muslimin datang kepada raja, terjadilah percakapan diantara mereka, pada saat
itu kaum muslimin tidak melakukan sujud penghormatan kepada raja, akan tetapi
mereka memberi hormat kepada Raja dengan cara penghormatan yang telah berlaku
dalam agama mereka dengan alasan mereka hanya akan bersujud kepada Allah SWT.[26]
Setelah itu,
kaum Quraisy menghasut raja dengan mengatakan
peristiwa yang tidak baik tentang mereka
yang akan mengganggu keamanan negeri Habsyi. Ketika
Ja’far mengetahui bahwa utusan Quraisy menghasut raja, maka Ja’far mengajukan
permintaan kepada raja untuk menjawab hasutan mereka, dengan cara meminta
kepada raja untuk bertanya kepada kaum Quraisy mengenai beberapa hal, yakni: 1.
Kaum muslim yang bersembunyi di Habsyah
hamba sahaya atau merdeka? 2. Pernahkah kaum muslim membunuh secara tidak benar
atau mengambil harta benda dengan tidak benar? 3. Pernahkah kaum muslim
mempunyai hutang dengan kaum kafir Quraisy? Ja’far juga menyampaikan bahwa jika
ada kesalahan-kesalahan yang telah disebutkan, maka Ja’far mempersilahkan agar
dirinya dan rombongannya dikembalikan ke tangan para utusan kaum kafir Quraisy
dan diusir dari negri Habsyi.
Raja lalu
menanyai kaum kafir Quraisy tiga hal tersebut, dan mereka menjawab: “Tidak”. Setelah
selesai Tanya jawab maka raja berpaling kepada utusan Quraisy dan berkata :
“Pergilah kamu keduanya dari sini! Demi Allah, Kami tidak akan menyerahkan
mereka kepadamu selama-lamanya, meskipun kamun memberikan segunung emas
kepadaku!”.
Baginda raja
lalu memberikan perintah kepada para prajuritnya untuk mengembalikan semua
hadiah yang telah diberikan dua utusan Quraisy tersebut, lalu setelah prajurit
mengembalikan hadiah-hadiah itu para utusan Quraisy pergi meninggalkan negeri Habsyah
dengan tangan hampa dan perasaan kecewa.[27]
Menurut riwayat
yang sahih, pemboikotan itu terjadi selama kurang lebih tiga tahun lamanya.
Selama itu pula Nabi SAW dan keluarganya (Keluarga bani Hasyin dan bani
Muthallib) tidak ikut berhijrah ke negeri Habsyah dan mereka menanggung
beberapa kesukaran dan kesengsaraan di dalam hidupnya.[28]
Selama
pemboikotan Nabi Muhammad menyiarkan dakwahnya hanya di dalam Sya’ib, dan tentu
saja hanya tertuju pada orang-orang yang ikut diboikot. Dakwah Nabi dilakukan
diluar Sya’ib hanya pada musim haji (bulan Haram), karena pada waktu tersebut
tidak diperkenankan bagi siapa saja melakukan perbuatan penganiayaan
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Namun demikian Abu Lahab dan
kawan-kawannya merasa tidak senang dan selalu mengikuti nabi ketika berdakwah
dengan memberikan fitnah yang sangat bengis dan kejam.
Sebagian dari
orang-orang Quraisy yang masih dekat kekeluargaannya dengan Nabi saw. merasa kasihan atas pemboikotan ini, maka mereka mengirimkan makanan di
dalam Sya’ib secara sembunyi-sembunyi.[29]
Pada suatu hari
ketika nabi Muhammad SAW sedang tertidur, beliau bermimpi mengenai naskah
pemboikotan yang digantung di dalam ka’bah telah rusak dan hancur dimakan rayap
kecuali yang bertuliskan “Bismika
Allahumma”, ketika nabi terbangun dari mimpinya, lalu ia segera
memberitahukan mimpinya kepada Abu Thalib, maka pergilah Nabi bersama Abu
Thalib dan sebagian keluarga hasyim dan Muthallib. Melihat kedatangan mereka,
para kaum Quraisy mereka bahwa nabi Muhammad akan diserahkan kepada mereka
untuk dibunuh, mereka lalu menanyakan hak itu kepada Abu Thalib. Abu Thalib pun
menjawab pertanyaan mereka dan menjelaskan maksud atas tujuan kedatangan mereka
yang semata-mata memberitahukan mengenai naskah pemboikotan yang telah rusak
dimakan rayap. Mereka lalu bersama-sama membuktikan mimpi nabi, dan benar apa
yang disampaikan mereka kepada kaum Quraisy, bahwa naskah pemboikotan yang
digantung di Ka’bah telah rusak dan hancur dimakan rayap kecuali yang
bertuliskan “Bismika Allahumma”.
Setelah mereka
mengetahui hal tersebut, paman nabi sempat bertanya kepada kaum Quraisy mengapa
mereka bisa dengan tega melakukan pemboikotan yang sangat menyiksa dan
memutuskan tali persaudaraan, lalu kaum Quraisy menjawab bahwa mereka melakukan
demikian semata-mata karena sihir nabi Muhammad. Mendengar jawaban tersebut,
Abu Thalib hanya tersenyum dan beliau bersama orang-orang yang diboikot
mendoakan kaum Quraisy agar dapat mengalahkan mereka yang telah melakukan
pemboikotan dan penganiayaan.[30]
Setelah tiga
tahun pemboikotan secara menyeluruh oleh orang Quraisy, maka ada dari orang Quraisy
sendiri ada yang memulai untuk mengakhiri pemboikotan. Dengan alasan kasian dan
iba dengan saudara mereka yang sengsara yang masuk islam akibat diboikot oleh
orang Quraisy. Akhirnya papan piagam pemboikotan itu benar-benar dirobek dan
dibatalkan. Rasulullah dan pengikutnya keluar dari perkampungan. Orang-orang
musrik telah melihat satu tanda yang besar dari tanda-tanda nubuwah, tetapi
mereka seperti diberitahukan Allah.[31]
Meskipun
pemboikotan telah dihentikan namun tekanan dari kafir Quraisy masih saja
terjadi. Ini berakibat pada kondisi kaum muslim yang banyak menderita sakit dan
akhirnya meninggal termasuk paman Rasulullah yaitu Abu Thalib yaitu pada bulan
Rajab tahun kesepuluh nubuwah yaitu selang enam bulan setelah pemboikotan.
Kemudian disusul oleh istrinya rasul (Ummul Mukminin Khadijah Al-Kubra) ikut
wafat tiga bulan setelah pamannya wafat. Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka
waktu yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan perasaan duka dan lara di
hati Rasulullah, belum lagi cobaan yang dilancarkan kaum Quraisy semakin
menambah duka nabi Muhammad yang semakin bertumpuk. Untuk itu nabi hijrah ke
Thaif.[32]
Setelah
hijrah ke Habasyah yang ke dua, maka ada penyejuk bagi kaum muslim yaitu masuk
islamnya Umar bin Al-Khaththab dan Hamzah bin Abdul Muththalib.[33]
Faktor-faktor
yang menguatkan kesabaran, ketabahan dan keteguhan nabi adalah iman kepada
Allah, sosok pemimpin yang bisa menyatukan hati manusia, rasa tanggung jawab,
imam kepada hari akhir, Al-Qur’an, kabar gembira akan datangnya keberhasilan.[34]
Ibrah
1.
Menigkatkan iman dan taqwa.
2.
Sabar
dan tabah atas segala sesuatu.
3.
Peduli dan tidak egois.
4.
Pemimpin
hendaknya selalu memperhatikan firman-firman Allah dan meneladani Rasulullah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kondisi umat islam sebelum hijrah ke Habsyi penuh
dengan tekanan, rintangan dan tantangan terus dihadapi kaum muslim di Makkah. Diantara
rintangan dan gangguan seperti pukulan, siksaan, hinaan, cacian, ejekan serta
tipu daya yang dilakukan kaum Quraisy terhadap nabi. Makin hari siksaan,
ritangan dari kaum Quraisy makin menjadi-jadi.
2. Dengan kondisi yang mengancam jiwa, agama,
dan harta, kaum muslim maka atas dasar wahyu yang di turunkan oleh Allah yang
disampaikan oleh nabi Muhammad, kaum muslim melakukan hijrah ke Habsyah pertama
pada pertegnahan tahun kelima kenabian yang diikuti 16 orang kaum muslim yang
dipimpin oleh Usman, dan diterima baik di Habsyah.
3. Dengan tipu daya oleh kaum Quraisy, kaum
muslim kembali ke Makkah dan akhirnya mendapatkan rintangan, tantangan yang
semakin menjadi jadi, akhirnya kaum muslim kembali hijrah ke Habsyah untuk kali
ke dua dengan jumlah 101 orang dipimpin oleh Ja’far.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-qur’an Al-Karim Terjemahan Bahasa Indonesia. Kudus. Menara Kudus. 2006.
Al-Ghozali, Muhammad. Sejarah
Perjalanan Hidup Muhammad.
Yogyakarta. Mitra Pustaka. 2004.
Al-Mubarakfurry, Syaikh
Syafiyyur-Rahman.
Sirah Nabawiyah. Riyadh. Darus-Salam. Cet. I,
1414 H. Diterj. Suhard, Kathur. Sirah Nabawiyah. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar. 2006.
Chalil, Moenawar. Kelengkapan
Tarikh Nabi Muhammad SAW.
Jakarta. Gema Insani Press. 2001.
Ibrahim,
Fauzi. Sayyiduna Muhammad saw. A’dzamu
Al-Khalqi. diterj. Sya’roni, Irham dkk. Muhammad
saw. Makhluk Paling Mulia. Yogyakarta. Citra Risalah. 2008.
Husain
Haekal, Muhammad. Sejarah Hidup Muhammad. Ebook.
[1] Moenawar Chalil, Kelengkapan
Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 244.
[2]
Muhammad Al-Ghozali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, (Yogyakarta,
Mitra Pustaka, 2004), hlm. 126.
[5] Ibid., hlm. 246-247
[6] Muhammad Husain Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad, Ebook.
[8] Ibid., hlm. 251
[9] Ibid., hlm. 252
[10] Ibid., hlm. 254
[11] Muhammad Husain Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad, Ebook.
[12] Lihat QS. Al-Israa’ :
73-75
[14] Syaikh Syafiyyur-Rahman
Al-Mubarakfurry, Sirah Nabawiyah,
(Riyadh : Darus-Salam, Cet. I, 1414 H), diterj. Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2006), hlm. 126.
[15] Ibid.
[17] Negeri Habasyah adalah negeri yang sekarang dikenal
dengan nama Abbessinia, terletak di benua Afrika. Gelar raja Habasyah ialah
Najasyi (Negus). Nama rajanya pada masa itu adalah Ash-Himah Bahri. Raja
habasyah dan sebagian rakyatnya waktu itu masih memeluk agama Nasrani (Kristen).
[18] Lihat QS. Az-Zumar : 10
[19] Ibid., hlm. 127.
[20] Moenawar Chalil, Kelengkapan
Tarikh ., hlm. 267
[28] Fauzi
Ibrahim, Sayyiduna Muhammad saw. A’dzamu
Al-Khalqi. diterj. Irham Sya’roni dkk., Muhammad
saw. Makhluk Paling Mulia, (Yogyakarta: Citra Risalah, 2008), hlm. 86-87.
No comments:
Post a Comment