Sunday 10 April 2016

Diplomasi kaum Quraisy dan Pencarian Suaka Politik ke Habsyi



DIPLOMASI KAUM QURAISY DAN PENCARIAN SUAKA POLITIK
KE HABSYI

Makalah
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sirah Nabawiyah
Dosen Pengampu: Mualimul Huda, M.Pd.I
Kelas F-2/PAI



Disusun oleh :



Thuadi                                     : 1310110234


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mekkah berpijar dengan api kemarahan, bergolak dengan keanehan dan pengingkaran, tatkala mereka mendengar suara yang memperlihatkan kesesatan orang-orang musyrik dan para penyembah berhala. Suara itu seakan-akan petir yang membelah awan, berkilau, menggelegar dan mengguncang udara yang tadinya tenang. Orang-orang Quraisy bangkit untuk menghadang revolusi yang datang secara tak terduga ini, dan yang dikhawatirkan akan merusak tradisi warisan mereka.
Dengan ancaman yang selalu datang bertubi-tubi kepada kaum muslim, membuat nabi Muhammad merasa sudah saatnya umat muslim mendapatkan tempat yang aman juga ajaran agama yang dibawanya tetap bisa bertahan dan berkembang di bawah tekanan kaum Quraisy. Namun untuk mendapatkan perlindungan dari kaum Quraisy Makkah, kaum muslimin tidak begitu saja mendapat kemudahan, banyak tantangan dan rintangan yang harus hadapi.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kondisi kaum muslim sebelum hijrah ke Habasyah serta perjuangan dan kejadian-kejadian yang menyertainya.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana keadaan umat islam sebelum hijrah ke Habsyi?
2.    Bagaimana pencarian suaka politik ke Habsyi yang pertama?
3.    Bagaimana pencarian suaka politik ke Habsyi yang ke dua?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Keadaan Umat Islam Sebelum Hijrah Ke Habsyi
Berbagai rintangan dan tantangan terus dihadapi kaum muslim di Makkah. Diantara rintangan dan gangguan seperti pukulan, siksaan, hinaan, cacian, ejekan serta tipu daya yang dilakukan kaum Quraisy terhadap nabi. Makin hari siksaan, ritangan dari kaum Quraisy makin menjadi-jadi. Namun semangat dakwah nabi Muhammad makin hari makin berkobar sehingga jumlah kaum muslim semakin berkembang. Sikap kaum Quraisy yang brutal malah dijadikan nabi sebagai cambuk semangat untuk makin semangat dalam dakwahnya.[1]
Kaum musyrikin mengira bahwa perlakuan kejam terhadap kaum yang lemah akan dapat menjauhkan mereka dari ajakan dan dakwah Rasulullah SAW. Mereka mengira bahwa ejekan dan penghinaan yang mereka lancarkan akan dapat mematahkan kekuatan moral kaum muslimin, hingga mereka akan merasa malu memeluk islam, kemudian kembali kepada agama nenek moyng mereka. Perkiraan mereka ternyata meleset, tak seorang pun dari kaum muslimin yang berbalik meninggalkan kebenaran yang telah mereka terima dari Allah SWT. Bahkan jumlah mereka semakin meningkat. Ejekan dan cemoohan kaum musrikin itu terbukti tidak sanggup menjauhkan orang dari jalan Allah dan tidak pula dapat menghancurkan identitasnya.[2]
Adanya berbagai rintangan dan gangguan berupa fitnah yang dilakukan kaum musyrikin Quraisy terhadap nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya ternyata tidak meghasilkan apa-apa. Kaum Quraisy kemudian mengupayakan siasat baru. Kaum Quraisy mengadakan pertemuan untuk menunjuk salah seorang utusan diantara mereka untuk menghadap Nabi SAW dengan maksud membujuk beliau supaya mau menghentikan seruannya.
Musyawarah dilangsungkan di Darun Nadwah dikunjungi oleh para pemuka bangsa Quraisy.[3] Sesudah di musyawarahkan secara matang dan suara bulat, mereka memutuskan bahwa orang yang pantas sebagai utusan adalah Utbah bin Rabi’ah, karena dialah yang dipandang tepat dan sesuai untuk berberhadapan dengan Muhammad bin Abdullah.
Utbah kemudian pergi ke rumah Abu Thalib untuk memintanya memanggil Muhammad SAW ke rumahnya. Abu Thalib dengan segera menyuruh seseorang untuk memanggil keponakannya, setelah itu Nabi datang ke rumah Abu Thalib.[4] Kemudian terjadilah percakapan antara Utbah dan nabi Muhammad yang intinya Utbah dan kaum Quraisy ingin  kaum Quraisy dan kaum muslim bersatu kembali, se-ia sekata dan kembali berdamai seperti sebelumnya. Dengan tawaran harta benda, ketinggian derajat, perempuan yang cantik, menjamin keselamatan dan kesehatan nabi. Namun itu semua dengan imbalan nabi Muhammad dan kaum muslim harus kembali ke agama nenek moyang yaitu menyembah berhala.
Nabi Muhammaad hanya diam ketika Utbah menawwarkan itu semua, kemudian nabi membacakan  QS. Fushilat:1-14 sebagai jawaban atas semua tawaran Utbah dan kaum Quraisy.[5] Baru sekian Nabi SAW membacakannya dengan segera Utbah menegur dan berkata,”Cukuplah Muhammad, cukuplah sekian dulu Muhammad, cukuplah sekian saja. Apakah engkau dapat menjawab dan berkata selain dari itu.
Nabi menjawab, “Tidak.”
Utbah lalu diam dan tidak dapat berkata lagi. Semua yang hendak dikatakannya hilang, musnah dengan sendirinya, segala rencana yang hendak dikemukakannya, lenyap tanpa disangka-sangka, bahkan hatinya sangat tertarik akan bacaan yang didengarya dari nabi. Kemudian ia pulang kerumahnya dengan memendam perasaan yang sebelumnya tidak dimilikinya. Demikianlah perasaan yang terkandung dalam hati sanubari Utbah bin Robi’ah ketika itu.[6]
Utbah kembali kerumahnya dengan perasaan yang mengganggu dan hati yang sangat sedih, dia tidak berani keluar dari rumah menunjukkan mukanya pada mereka yang mengutusnya karena sangat malu menampakkan kegagalannya pada mereka.
Para pemuka musyrikin Quraisy kemudian datang kerumahnya untuk menanyakan tentang hasil yang diperolehnya. Namun dengan sangat terpaksa ia harus mengungkapkan apa yang sudah dikerjakannya sebagai utusan yang dipercaya. Mendengar ucapan Utbah para pemuka Quraisy tidak bisa menerimanya lalu mereka kembali menyuruh Utbah untuk menemui Nabi Muhammad.[7]
Pada suatu hari, Utbah bin Robi’ah datang kepada nabi Muhammad SAW dengan membawa usul yang menurut perasaannya lebih baik dan lebih tajam untuk dikemukakan kepada beliau.
Utbah berkata: ”Jalan yang terbaik untukmu dan para pengikutmu sekarang demi untuk kepentingan bangsa dan negara, adalah hendaklah kita bersama menyembah apa yang selamanya kami sembah dan telah menjadi sesembahan nenek moyang terdahulu selama satu tahun saja, kemudian nanti selama satu tahun yang berikutnya kami akan menyembah pula tuhanmu yang selalu kamu puja dan kamu sembah. Kemudian setelah satu tahun bila tuhan yang kami sembah lebih baik dari pada tuhan yang kamu sembah maka hendaklah kamu meneruskan menyembah tuhan kami. Bila tuhan yang kamu sembah lebih baik dari tuhan kami, maka kami hendak menyembah tuhan yang kamu sembah. Hal ini untuk menjaga persatuan dan persaudaraan kita bersama.”
Pada waktu itu Nabi Muhammad tidak menjawab sepatah katapun, oleh sebab itu Allah menurunkan wahyu QS. Al kafirun dan QS. Az-Zumar: 64-66 kepada nabi SAW untuk menjawab usul yang dikemukakan Utbah.[8]
Selanjutnya Nabi berkata kepada Utbah, Hendaklah engkau jangan menyangka bahwa aku akan mengikuti kehendak atau keinginan kamu supaya aku mempersekutukan Allah. Amat jauhlah aku dari perbuatan semacam itu.
Setelah Utbah menerima jawaban yang demikian tegas, dengan segera ia kembali dengan hati yang gundah dan penuh kekhawatiran, kalau-kalau ia dianggap berdusta dan tidak dipercaya lagi oleh mereka yang mengutusnya. Setelah itu Utbah memutuskan sendiri untuk menemui Nabi SAW lagi. Namun, akhirnya Utbah bin Rabi’ah pun gagal kembali untuk menaklukkan Nabi Muhammad SAW. Ketika ia ditanya oleh para pengutusnya, ia hanya menjawab, “Aku tidak akan dapat menaklukkan Muhammad, jangankan disuruh menaklukkan, membantah saja aku tidak sanggup”.[9]
Pada suatu hari, para pemuka Quraisy mengadakan musyawarah yang kedua kalinya. Utbah bin Rabi’ah hadir dalam musyawarah itu. Musyawarah yang kedua ini pun dilangsungkan di Darun Nadwah dan dihadiri oleh semua pemuka musyrikin Quraisy.
Sesudah mereka mengetahui bahwa Utbah sudah putus asa dan tidak sanggup lagi menggunakan siasatnya yang ulung, mereka kemudian merundingkan cara dan jalan lain yang digunakan untuk merintangi seruan Nabi SAW. Sesudah dimusyawarahkan dengan suara bulat, mereka memutuskan bahwa mereka akan datang kepada Muhammad bin Abdullah dengan maksud hendak mengejek, menertawakan, dan menghina Nabi SAW. Demkianlah putusan yang diambil dalam musyawarah mereka yang kedua kalinya.[10]
Maka kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan menimpakan bermacam-macam bencana, yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. [11]
           


B.     Hijrah Ke Habsyah
1.      Hirah yang Pertama
Pada masa itu, semakin bertambahnya hari maka makin bertambah juga pengikut nabi, namun rintangan yang dihadapi makin besar pula. Jika Muhammad bukanlah seorang nabi yang dibawa oleh Allah, yang hatinya benar-benar terpelihara, niscaya akan terpengaruh dan terperdaya oleh bujuk rayu kaum Quraisy.[12] Meskipun menghadapi bermacam-macam ujian dan rintangan, pendirian beliau tetap teguh dan iman beliau kepada Allah sangat kuat dan tebal.[13]
Setiap hari beliau menyaksikan kaum muslim terus-menerus dianiaya, diperlakukan sewenang-wenang. Langkah beliau untuk menghadapi tekanan ini adalah melarang orang muslim menampakkan keislamannya. Kecuali Rasulullah yang tetap menampakkan dakwah keislamannya. Sekalipun begitu, orang muslim mengadakan pertemuan dengan sembunyi-sembunyi di rumah Al-Arqam bin Abil-Arqam Al-Makhzumy berada di atas bukit Shafa dan terpencil.[14]
Namun lambat laun siksaan kaum Quraisy terus berlangsung dan semakin keji, hingga mereka merasa sempit dan terjepit, mereka mulai berfikir untuk mencari jalan keluar dari siksaan yang pedih ini. Dalam kondisi yang sempit dan terjepit ini turun QS. Al-Kahfi : 16.[15]
ÏŒÎ)ur öNèdqßJçGø9utIôã$# $tBur šcrßç6÷ètƒ žwÎ) ©!$# (#ÿ¼ãrù'sù n<Î) É#ôgs3ø9$# ÷Žà³^tƒ ö/ä3s9 Nä3š/u `ÏiB ¾ÏmÏGyJôm§ ø×Ähygãƒur /ä3s9 ô`ÏiB /ä.̍øBr& $Z)sùöÏiB ÇÊÏÈ  
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.”[16]
 Akhirnya beliau memerintahkan kaum muslim untuk hijrah keluar Makkah yaitu ke Habasyah[17] setelah mendapatkan perintah dari Allah swt.[18]
Rasulullah sudah tahu bahwa raja yang berkuasa di Habasyah yaitu Ashhamah An-Najasyi adalah seoranga raja yang adil, tidak akan ada seorang pun yang akan teraniaya di sisinya. Oleh karena itu beliau memerintahkan untuk hijrah dengan tujuan selain menghindari siksaan kaum Quraisy juga membawa agama yang dianut kaum muslim agar terus berkembang.[19]
Pada bulan Rajab tahun kelima dari nubuwah, sekelompok sahabat yang ditunjuk nabi hijrah yang pertama kali ke Habasyah, terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, yang dipimpin oleh Utsman bin Affan. Dengan berjalan mengendap-ngendap mereka berjalan satu persatu atau dengan istrinya menuju pinggir pantai. Secara kebetulan saat mereka tiba di pelabuhan Syaibah, ada dua kapal datang yang bertolak ke Habasyah. Mereka menyewa kapal tersebut untuk bertolak ke Habasyah. Setelah orang Quraisy mengetahui kepergian  orang muslim ini, mereka segera mengejar. Tapi tatkala mereka tiba di pinggir pantai, orang muslim sudah bertolak dengan selamat. Namun kepulangan orang Quraisy yang gagal mencegah kaum muslim hijrah membuat kekerasan bagi muslim yang masih di Makkah semakin menjadi-jadi.[20]
Sesampainya disana orang muslim hidup dengan aman sejahtera dan mendapat perlakuan yang baik. Setelah kurang lebih tiga bulan lamanya, kaum muslim kembali ke Makkah pada pertengahan bulan Syawwal tahun ke 5 kenabian. Mereka pulang ke Makkah karena mendengar berita bahwa kaum Quraisy yang selalu menghalangi pergerakan nabi, telah takluk dan tidak ada seorangpun yang ketinggalan mengikuti seruan nabi. Tetapi ini adalah berita bohong yang dibuat orang Quraisy. Adapun sebab munculnya kabar itu ialah peristiwa ketika nabi membaca QS. An-Najm dimasjid, para pemuka Quraisy mendengar bahwa salah satu bacaan nabi ada yang memuji-muji tuhan mereka. Ketika bacaan nabi selesai, beliau bersujud dan diikuti oleh kaum muslimin yang mendengarnya dikala itu, maka kaum musrikin juga ikut bersujud.
Selain itu mereka juga tidak mengerti bahasa Habasiyah, sehingga mereka tidak bisa bergaul selama disana. Ketika muslim sudah sampai Makkah, mereka baru sadar kalau Makkah masih dikuasai oleh Quraisy, dan kekejaman kaum Quraisy terhadap kaum muslim yang masih tingal di Mekkah. Bahkan kekejamannya bertambah besar.[21]
2.    Hijrah yang kedua
Hasil rapat pemuka Quraisy yang dilangsungkan di Darun Nadwah memutuskan bahwa Muhammad harus dibunuh. Namun pembelaan Abu Thalib terhadap nabi Muhammad SAW secara ketat membuat mereka tidak dapat menjalankan keputusan mereka untuk membunuh nabi. Kemudian dengan diam-diam mereka mengadakan musyawarah lagi untuk merundingkan cara membunuh Nabi SAW, akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan pemboikotan terhadap keluarga bani Hasyim dan bani Muthallib serta semua kaum muslimin.[22]
Isi pemboikotan itu antara lain sebagai berikut:
1.      Larangan menikah
2.      Larangan jual beli
3.      Dilarang menjalin persahabatan atau pergaulan
4.      Dilarang mengasihi dan menyayangi Muhammad dan kaumnya
5.      Undang-undang yang telah ditetapkan ini sesudah ditulis dan digantungkan di dalam ka’bah, ditetapkan sebagai undang-undang suci kaum Quraisy dan keluarga Muhammad serta pengikutnya.
6.      Undang-undang ini berlaku selama keluarga bani Hasyim dan bani Muthallib belum menyerahkan Muhammad kepada kaum Quraisy untuk dibunuh. Bilamana nabi Muhammad sudah diserahkan kepada mereka, undang-undang ini tidak berlaku lagi.[23]
Setelah Nabi mengetahui pemboikotan dan juga siksaan terhadap kaum muslim semakin menjadi-jadi, maka Nabi mengutus kepada kaum muslimin untuk hijrah kedua kalinya ke Habsyah dengan kepala robongan sahabat Ja’far bin Abi Thalib, rombongan tersebut berjumlah 101 yang terdiri dari 83 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.
Setelah kaum muslimin di Yaman mendengar berita bahwa nabi Muhammad beserta pengikutnya hijrah ke Habsyah, merekapun menyusul ke Habsyah dengan kepala rombongan Abu Musa al-Anshari, rombongan tersebut berjumlah lima puluh orang, tetapi karena beliau tidak ikut berhijrah maka mereka tidak bertemu dengan beliau. Akhirnya Ja’far bin Abi Thalib selaku kepala rombongan meminta mereka berdiam dulu di negeri Habsyah untuk sementara waktu, merekapun akhirnya menuruti permintaan Ja’far bin Abi Thalib.[24]
Sesudah kaum musyrikin Quraish mendengar berita hijrah ke Habsyi untuk kedua kali, mereka melakukan pertemuan kilat. Dari pertemuan tersebut mereka sepakat mengirim dua orang pemuka Quraisy yang terpandang dan cerdas untuk menghadap Raja Habsyah dengan membawa hadiah berupa barang-barang berharga dan dengan tujuan memohon supaya kaum muslimin supaya dikembalikan kepada kaum Quraisy yang di Makkah dan diusir dari daerah kekuasaannya. Adapun dua orang tersebut adalah Amr bin Ash dan Amrah bin Walid, yang keduanya berasal dari negeri Quraisy juga.
Setelah kedua utusan kaum Quraisy sampai di Habsyah, mereka segera menemui raja dengan membawa hadiah dan mengemukakan maksud kedatangan mereka untuk mencari penyusup yang bersembunyi di negeri Habsyi, mereka bahkan mengarang cerita yang jelek-jelek mengenai rombongan kaum muslimin yang berhijrah di Habsyi. Amr bin Ash juga menghasut raja untuk mengusir mereka dan menyerahkan atas perwalian dirinya karena jika tidak demikian agama dan kesejahteraan negeri Habsyah terganggu.[25]
Dengan segera raja memerintahkan kepada perajuritnya untuk mencari dan menghadapkan kaum muslimin itu kepada raja. Ketika raja telah memerintahkan hal tersebut, pembesar istana, Amr bin Ash, dan para pendeta menghasut, dari mulai usulan agar setelah para penyusup tertangkap langsung diserahkan kepada para pembesar kaum musyrikin Quraisy sampai cerita yang sengaja dikarang untuk menjelekkan kaum muslimin.
Namun raja menolak dengan alasan ingin mengetahui keadaan mereka dan memahami permasalahan mereka. Tidak sampai disitu, Amr bin Ash kemudian menyebarkan fitnah dengan mengatakan bahwa penyusup itu merupakan seorang pendusta. Setelah itu ada pula seorang pendeta menghadap ke raja dan mengungkapkan hal yang sama dengan yang dikatakan  Amr bin Ash. Namun begitu raja teguh pendirian untuk menemui kaum muslim dan menanyakan alasan mereka bersembunyi di negeri Habsyah.
Pada saat kaum muslimin datang kepada raja, terjadilah percakapan diantara mereka, pada saat itu kaum muslimin tidak melakukan sujud penghormatan kepada raja, akan tetapi mereka memberi hormat kepada Raja dengan cara penghormatan yang telah berlaku dalam agama mereka dengan alasan mereka hanya akan bersujud kepada Allah SWT.[26]
Setelah itu, kaum Quraisy menghasut raja dengan mengatakan peristiwa yang tidak baik tentang mereka yang akan mengganggu keamanan negeri Habsyi. Ketika Ja’far mengetahui bahwa utusan Quraisy menghasut raja, maka Ja’far mengajukan permintaan kepada raja untuk menjawab hasutan mereka, dengan cara meminta kepada raja untuk bertanya kepada kaum Quraisy mengenai beberapa hal, yakni: 1. Kaum muslim yang bersembunyi di Habsyah hamba sahaya atau merdeka? 2. Pernahkah kaum muslim membunuh secara tidak benar atau mengambil harta benda dengan tidak benar? 3. Pernahkah kaum muslim mempunyai hutang dengan kaum kafir Quraisy? Ja’far juga menyampaikan bahwa jika ada kesalahan-kesalahan yang telah disebutkan, maka Ja’far mempersilahkan agar dirinya dan rombongannya dikembalikan ke tangan para utusan kaum kafir Quraisy dan diusir dari negri Habsyi.
Raja lalu menanyai kaum kafir Quraisy tiga hal tersebut, dan mereka menjawab: “Tidak”. Setelah selesai Tanya jawab maka raja berpaling kepada utusan Quraisy dan berkata : “Pergilah kamu keduanya dari sini! Demi Allah, Kami tidak akan menyerahkan mereka kepadamu selama-lamanya, meskipun kamun memberikan segunung emas kepadaku!”.
Baginda raja lalu memberikan perintah kepada para prajuritnya untuk mengembalikan semua hadiah yang telah diberikan dua utusan Quraisy tersebut, lalu setelah prajurit mengembalikan hadiah-hadiah itu para utusan Quraisy pergi meninggalkan negeri Habsyah dengan tangan hampa dan perasaan kecewa.[27]
Menurut riwayat yang sahih, pemboikotan itu terjadi selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Selama itu pula Nabi SAW dan keluarganya (Keluarga bani Hasyin dan bani Muthallib) tidak ikut berhijrah ke negeri Habsyah dan mereka menanggung beberapa kesukaran dan kesengsaraan di dalam hidupnya.[28]
Selama pemboikotan Nabi Muhammad menyiarkan dakwahnya hanya di dalam Sya’ib, dan tentu saja hanya tertuju pada orang-orang yang ikut diboikot. Dakwah Nabi dilakukan diluar Sya’ib hanya pada musim haji (bulan Haram), karena pada waktu tersebut tidak diperkenankan bagi siapa saja melakukan perbuatan penganiayaan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Namun demikian Abu Lahab dan kawan-kawannya merasa tidak senang dan selalu mengikuti nabi ketika berdakwah dengan memberikan fitnah yang sangat bengis dan kejam.
Sebagian dari orang-orang Quraisy yang masih dekat kekeluargaannya dengan Nabi saw. merasa kasihan atas pemboikotan ini, maka mereka mengirimkan makanan di dalam Sya’ib secara sembunyi-sembunyi.[29]
Pada suatu hari ketika nabi Muhammad SAW sedang tertidur, beliau bermimpi mengenai naskah pemboikotan yang digantung di dalam ka’bah telah rusak dan hancur dimakan rayap kecuali yang bertuliskan “Bismika Allahumma”, ketika nabi terbangun dari mimpinya, lalu ia segera memberitahukan mimpinya kepada Abu Thalib, maka pergilah Nabi bersama Abu Thalib dan sebagian keluarga hasyim dan Muthallib. Melihat kedatangan mereka, para kaum Quraisy mereka bahwa nabi Muhammad akan diserahkan kepada mereka untuk dibunuh, mereka lalu menanyakan hak itu kepada Abu Thalib. Abu Thalib pun menjawab pertanyaan mereka dan menjelaskan maksud atas tujuan kedatangan mereka yang semata-mata memberitahukan mengenai naskah pemboikotan yang telah rusak dimakan rayap. Mereka lalu bersama-sama membuktikan mimpi nabi, dan benar apa yang disampaikan mereka kepada kaum Quraisy, bahwa naskah pemboikotan yang digantung di Ka’bah telah rusak dan hancur dimakan rayap kecuali yang bertuliskan “Bismika Allahumma”.
Setelah mereka mengetahui hal tersebut, paman nabi sempat bertanya kepada kaum Quraisy mengapa mereka bisa dengan tega melakukan pemboikotan yang sangat menyiksa dan memutuskan tali persaudaraan, lalu kaum Quraisy menjawab bahwa mereka melakukan demikian semata-mata karena sihir nabi Muhammad. Mendengar jawaban tersebut, Abu Thalib hanya tersenyum dan beliau bersama orang-orang yang diboikot mendoakan kaum Quraisy agar dapat mengalahkan mereka yang telah melakukan pemboikotan dan penganiayaan.[30]
Setelah tiga tahun pemboikotan secara menyeluruh oleh orang Quraisy, maka ada dari orang Quraisy sendiri ada yang memulai untuk mengakhiri pemboikotan. Dengan alasan kasian dan iba dengan saudara mereka yang sengsara yang masuk islam akibat diboikot oleh orang Quraisy. Akhirnya papan piagam pemboikotan itu benar-benar dirobek dan dibatalkan. Rasulullah dan pengikutnya keluar dari perkampungan. Orang-orang musrik telah melihat satu tanda yang besar dari tanda-tanda nubuwah, tetapi mereka seperti diberitahukan Allah.[31]
Meskipun pemboikotan telah dihentikan namun tekanan dari kafir Quraisy masih saja terjadi. Ini berakibat pada kondisi kaum muslim yang banyak menderita sakit dan akhirnya meninggal termasuk paman Rasulullah yaitu Abu Thalib yaitu pada bulan Rajab tahun kesepuluh nubuwah yaitu selang enam bulan setelah pemboikotan. Kemudian disusul oleh istrinya rasul (Ummul Mukminin Khadijah Al-Kubra) ikut wafat tiga bulan setelah pamannya wafat. Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka waktu yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan perasaan duka dan lara di hati Rasulullah, belum lagi cobaan yang dilancarkan kaum Quraisy semakin menambah duka nabi Muhammad yang semakin bertumpuk. Untuk itu nabi hijrah ke Thaif.[32]
Setelah hijrah ke Habasyah yang ke dua, maka ada penyejuk bagi kaum muslim yaitu masuk islamnya Umar bin Al-Khaththab dan Hamzah bin Abdul Muththalib.[33]
Faktor-faktor yang menguatkan kesabaran, ketabahan dan keteguhan nabi adalah iman kepada Allah, sosok pemimpin yang bisa menyatukan hati manusia, rasa tanggung jawab, imam kepada hari akhir, Al-Qur’an, kabar gembira akan datangnya keberhasilan.[34]
Ibrah
1.      Menigkatkan iman dan taqwa.
2.      Sabar dan tabah atas segala sesuatu.
3.      Peduli dan tidak egois.
4.      Pemimpin hendaknya selalu memperhatikan firman-firman Allah dan meneladani Rasulullah.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Kondisi umat islam sebelum hijrah ke Habsyi penuh dengan tekanan, rintangan dan tantangan terus dihadapi kaum muslim di Makkah. Diantara rintangan dan gangguan seperti pukulan, siksaan, hinaan, cacian, ejekan serta tipu daya yang dilakukan kaum Quraisy terhadap nabi. Makin hari siksaan, ritangan dari kaum Quraisy makin menjadi-jadi.
2.      Dengan kondisi yang mengancam jiwa, agama, dan harta, kaum muslim maka atas dasar wahyu yang di turunkan oleh Allah yang disampaikan oleh nabi Muhammad, kaum muslim melakukan hijrah ke Habsyah pertama pada pertegnahan tahun kelima kenabian yang diikuti 16 orang kaum muslim yang dipimpin oleh Usman, dan diterima baik di Habsyah.
3.      Dengan tipu daya oleh kaum Quraisy, kaum muslim kembali ke Makkah dan akhirnya mendapatkan rintangan, tantangan yang semakin menjadi jadi, akhirnya kaum muslim kembali hijrah ke Habsyah untuk kali ke dua dengan jumlah 101 orang dipimpin oleh Ja’far.




DAFTAR PUSTAKA

Al-qur’an Al-Karim Terjemahan Bahasa Indonesia. Kudus. Menara Kudus. 2006.
Al-Ghozali, Muhammad. Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad. Yogyakarta. Mitra Pustaka. 2004.
Al-Mubarakfurry, Syaikh Syafiyyur-Rahman. Sirah Nabawiyah. Riyadh. Darus-Salam. Cet. I, 1414 H. Diterj. Suhard, Kathur. Sirah Nabawiyah. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar. 2006.
Chalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jakarta. Gema Insani Press. 2001.
Ibrahim, Fauzi. Sayyiduna Muhammad saw. A’dzamu Al-Khalqi. diterj. Sya’roni, Irham dkk. Muhammad saw. Makhluk Paling Mulia. Yogyakarta. Citra Risalah. 2008.
Husain Haekal, Muhammad. Sejarah Hidup Muhammad. Ebook.




[1] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 244.
[2] Muhammad Al-Ghozali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2004), hlm. 126.
[3] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh., hlm. 244.
[4] Ibid., hlm. 245
[5] Ibid., hlm. 246-247
[6] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Ebook.
[7] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh.. hlm. 249
[8] Ibid., hlm. 251
[9] Ibid., hlm. 252
[10] Ibid., hlm. 254
[11] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Ebook.
[12] Lihat QS. Al-Israa’ : 73-75
[13] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi., hlm. 264
[14] Syaikh Syafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry, Sirah Nabawiyah, (Riyadh : Darus-Salam, Cet. I, 1414 H), diterj. Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 126.
[15] Ibid.
[16] Al-qur’an Al-Karim Terjemahan Bahasa Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 295
[17] Negeri  Habasyah adalah negeri yang sekarang dikenal dengan nama Abbessinia, terletak di benua Afrika. Gelar raja Habasyah ialah Najasyi (Negus). Nama rajanya pada masa itu adalah Ash-Himah Bahri. Raja habasyah dan sebagian rakyatnya waktu itu masih memeluk agama Nasrani (Kristen).
[18] Lihat QS. Az-Zumar : 10
[19] Ibid., hlm. 127.
[20] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh ., hlm. 267
[21] Ibid., hlm. 268
[22] Moenawar Cholil, Kelengkapan Tarikh, hlm. 29
[23] Ibid., hlm.30
[24] Ibid.,hlm. 32
[25] Ibid.,hlm. 33
[26] Ibid., hlm. 34-36
[27] Ibid.,hlm. 43-45
[28] Fauzi Ibrahim, Sayyiduna Muhammad saw. A’dzamu Al-Khalqi. diterj. Irham Sya’roni dkk., Muhammad saw. Makhluk Paling Mulia, (Yogyakarta: Citra Risalah, 2008), hlm. 86-87.
[29] Moenawar Cholil, Kelengkapan Tarikh, hlm. 46
[30] Ibid.,hlm. 47-48
[31] Syaikh Syafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry, Sirah Nabawiyah., hlm. 152-153
[32] Ibid., hlm. 159-161
[33] Fauzi Ibrahim, Sayyiduna Muhammad., hlm. 79.
[34] Syaikh Syafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry, Sirah Nabawiyah., hlm. 163-171

No comments:

Post a Comment