Monday 11 April 2016

Masalah Munakahat (Poligami)



MASALAH MUNAKAHAT

(POLIGAMI)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang poligami, bukan lagi merupakan pembicaraan yang baru dikenal dan hal yang baru ada dikehidupan manusia, bahkan poligami merupakan warisan yang membudaya dikehidupan manusia. Akan tetapi masalah poligami tak pernah habis menjadi isu aktual dikalangan masyarakat, meski mereka sudah tahu bahwa hal itu merupakan suatu ajaran atau syari'ah yang harus diterima keberadaannya.
Poligami tidak hanya gencar menjadi pembicaraan dikalangan masyarakat muslim saja, orang non muslim juga tak habis-habisnya mempermasalahkan praktek poligami, bahkan mereka sampai melontarkan tuduhan pada Nabi kita bahwa beliau adalah orang hiperseksual. Ankan tetaapi, kalau merunut pada sejarah ternyata para pendahulu-pendahulu mereka bahkan para nabi-nabi mereka sudah terbiasa melakukan praktek poligami.
Adapun poligami dalam Islam adanya bukan tanpa tujuan dan memiliki alasan yang rasional, juga bukan gampang adanya. Semua memiliki aturan dan pedoman hukum yang jelas.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan dasar hukum poligami ?
2.      Bagaimana kompilasi hukum Islam mengenai poligami ?
3.      Bagaimana contoh kasus poligami ?
4.      Apa faktor yang mempengaruhi poligami?
5.      Bagaimana dampak dari poligami ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Dasar Hukum Poligami
Kata poligami barasal dari bahasa yunani, yaitu poly atau polus yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi, poligami berarti suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari satu orang wanita.
Poligami merupakan salah satu yang mendapat perhatian khusus dari Allah SWT. Singga tidak mengherankan kalau Dia meletakkannya pada awal surat An-Nisa’ dalam kisahNya yang mulia. Seperti yang kita lihat, poligami terdapat pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam at-Tanzil yang membicarakan masalah ini. Akan tetapi, para mufassir dan para ahli fiqih seperti biasanya, telah mengabaikan redaksi secara umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada diantara maslah pologami dengan para janda yang memiliki anak-anak yatim.[1]
Dasar hukum dari poligami sebagaimana yang tercantum dalam Q.S An-Nisa’ ayat 03.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S An Nisa’ ayat 03)

Sesungguhnya Allah SWT tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, namun dengan syarat yang harus dipenuhi : Pertama, bahwa istri kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim ; Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim.[2]
Namun, berbeda dengan ulama’ kontemporer yang berpendapat bahwa masyarakat dulu berbeda dengan masyarakat zaman sekarang yang lebih mengedepankan nafsu. Dengan dasar hukum yang dijelaskan dalam Q.S An Nisa’ ayat 129
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  
Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S An Nisa’ 129) [3]

Ayat tersebut menjelaskan bahwa, hukum poligami bisa ditoleransi selama suami dapat berlaku adil. Mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa adil hanya dalam kebutuhan materi. Sementara dalam masalah imateri, perlakuan tidak adil tersebut bisa di tolerir. Dengan begitu kebolehan beristri lebih dari satu harus dikaitkan dengan adil tidaknya suami. Namun hal ini hanya ada dalam tataran teori. Pada tataran praktiknya syarat itu sangat sulit terwujud. Perlakuan tidak adil tersebut pasti terjadi diantara isteri-isteri. Maka, seolah-olah agama sengaja memasang syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi agar manusia tidak sembarangan melakukan poligami.[4]

B.       Kompilasi Hukum Islam Terkait dengan Poligami
Tentang beristri lebih dari satu orang menurut kompilasi hukum Islam :
1.         Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2.         Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3.         Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
4.         Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
5.         Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975.
6.         Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a.    Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.    Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.    Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 5 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, yaitu :
a.       adanya persetujuan istri
b.      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak mereka.[5]

C.      Contoh Kasus Poligami
Tawaran Dua Istri dan Soal Poligami
Persoalan :
Seorang laki-laki yang bernama A sudah berkeluarga dan pandai mengaji. Suatu hari seseorang dari tetangga desa bernama pak B meminta A untuk mengajari keluarga pak B agar pandai mengaji. Alih-alih meminta tolong pada A, pak B justru malah menawari A untuk menjadi menantunya. Padahal pak B sudah tahu bahwa A sudah berkeluarga, bahkan sudah memiliki anak. Hal ini, membuat kebimbangan di hati A untuk menerima atau menolak tawaran pak B. Di satu sisi, A khawatir dia tidak bisa berlaku adil dan takut akan menyakiti hati istrinya. Di sisi lain, Ajuga khawatir jika menolak tawaran pak B, jalinan silaturrahim dengan keluarga pak B tersebut akan menjadi rusak.
Jawaban :
Mengingat permasalahan si A, maka si A harus menolak tawarab pak  B, meskipun secara halus. Tegas tapi halus. Disamping menyampaikan pertimbangan yang berkaitan dengan keluarga A, dan menjelaskan masalah poligami bila dipandang dari segi agama maupun negara.
Secara agama, poligami itu tidak segampang yang diduga banyak orang. Banyak orang yang kurang memahami atau hanya selintas saja melihat  ayat QS. An-Nisa’ ayat 3 dan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad. Lalu menganggap poligami dalam Islam itu mudah. Padahal QS. An-Nisa’ ayat 3 tersebut jelas menyebut-nyebut soal adil sebagai persyaratan. Bahkan dalam ayat itu khawatir tidak bisa adil saja sudah cukup menjadi alasan untuk tidak berpoligami. Adil itu mengandalkan akal sehat, tidak emosi dan nafsu. Persyaratan adil itu nyaris merupakan palang pintu bagi umumnya orang berpoligami. Tapi dalam kondisi-kondisi tertentu, poligami memang diizinkan. Kenapa ? karena agama tidak ingin menutup sama sekali “pintu” yang memang pada situasi-situasi dan kasus-kasus tertentu, betapa pun jarangnya, justru lebih baik dibuka untuk memberi jalan keluar.[6]
Sedangkan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, sama sekali tidak tercemar nafsu atau dorongan seks seperti dugaan orang-orang yang tak tahu pribadi dan sejarah kehidupan Nabi. Bagi mereka yang mau melihat sejarah hidup Rasulullah SAW, akan tahu bahwa tak satupun perkawinan beliau yang bermotifkan pemuasan hawa nafsu.
Para pengamat mencatat beberapa hikmah dari poligami Rasulullah SAW antara lain untuk kepentingan pendidikan khususnya bagi kaum wanita, untuk kepentingan kemanusiaan, sosial, dan politik (mempersatukan suku-suku Arab dan menarik mereka ke bawah naungan Islam).
Dari segi negara, soal poligami pun bukan masalah gampang. Seperti diketahui, sesuai UU No.1/1974 tentang perkawinan, hukum perkawinan di Indonesia menganut monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena diizinkan oleh hukum dan agama yang bersangkutan, seorang suami bisa beristri lebih dari seorang. Inipun dengan syarat-syarat tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.[7]
Persoalan dan Jawaban
a.       Apabila ada orang laki-laki yang kuat syahwatnya, baginya seorang istri belum memadai, apakah ia dipaksa harus hanya beristri satu orang, dan untuk mencukupkan kebutuhannya dibiarkan berhubungan dengan orang lain di luar perkawinan ? dalam hal ini, agar hidupnya tetap bersih, kepadanya diberi kesempatan untuk berpoligami asal syarat harus dapat berbuat adil dapat terpenuhi.
b.      Apabila ada seorang suami benar-benar ingin mempunyai keturunan, padahal ternyata istrinya mandul, apakah suami itu harus mengorbankan keinginannya untuk berketurunan? Untuk memenuhi tuntutan naluri hidup suami subur yang beristri mandul, ia dibenarkan kawin dengan perempuan subur yang mampu berketurunan.
c.       Apabila istri menderita sakit hingga tidak mampu melayani suaminya, apakah suami harus menahan saja tuntutan biologisnya? Untuk memungkinkan suami terpenuhi hasrat naluriahnya dengan jalan halal, kepadanya diberi kesempatan kawin lagi.[8]
Demikian contoh-contoh alasan yang dapat menjadi pertimbangan kawin poligami itu, yang merupakan alasan moral, biologis, dan sosial ekonomis.
Dengan memperhatikan konteks ayat 3 QS. An-Nisa’ yang membolehkan perkawinan poligami tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa perkawinan poligami menurut ajaran Islam merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan mendesak. Dalam keadaan biasa, Islam berpegang kepada prinsip monogami, kawin dengan hanya seorang istri saja, yang dalam ayat Al-Qur’an tersebut dinyatakan akan lebih menjamin suami tidak akan berbuat aniaya.[9]
Untuk menjaga agar kebolehan kawin poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran Islam atas dasar maslahah dan mursalah, negara dibenarkan mengadakan penertiban, tetapi tidak berkecenderungan untuk menutup sama sekali pintu poligami.[10]

D.      Faktor yang Mempengaruhi Poligami
Diantara faktor yang mempengaruhi poligami antara lain :
1.      Karena istri sedang sakit
Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang tidak memungkinkan baginya untuk melayani hasrat seksual suaminya. Bagi suami yang shaleh akan memilih poligami dari pada pergi ke tempat-tempat mesum dengan sejumlah wanita pelacur.
2.      Karena istri mandul
Berangkat dari sini, kebolehan poligami hanya merupakan solusi ketika tujuan perkawinan sudah tidak terpenuhi. Poligami tidak dapat dijadikan sebagai ajang mengumbar hawa nafsu, apa lagi menjai cita-cita hidup.[11]
3.      Hasrat seksual yang tinggi
Sebagian kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang tinggi dan menggebu, sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan hasratnya tersebut.
4.      Karena kepribadian buruk seorang istri
Istri yang tidak pandai bersyukur, banyak menuntut, boros, suka berkata kasar, gampang marah, tidak mau menerima nasihat suami dan selau ingin menang sendiri, biasanya tidak disukai sang suami. Oleh karenanya, tidak jarang suami yang mulai berpikir untuk menikahi wanita lain yang dianggap lebih baik dan lebih shalihah, apalagi jika watak dan karakter buruk sang istri tidak bisa diperbaiki lagi.
5.      Kemapanan ekonomi
Inilah salah satu motivator poligami yang paling sering terjadi pada kehidupan modern sekarang ini. Kesuksesan dalam bisnis dan mapannya perekonomian seseorang, sering menumbuhkan sikap percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya menghidupi istri lebih dari satu.[12]

E.       Dampak  Poligami
Secara sederhana dan ringkas, beberapa manfaat atau katakanlah hikmah yang diharapkan dapat muncul dari adanya poligami di antaranya :
1.         Bagi suami lebih memungkinkan untuk terhindar dari berbagai bentuk penyelewengan seperti perzinaan, pelacuran maupun perselingkuhan dengan mengambil langkah untuk menikah lagi dengan wanita lain.
2.         Bagi sebagian isteri, dengan suami berpoligami beban untuk ‘melayani’ terutama kebutuhan biologis suami sedikit terkurangi.
3.         Bagi isteri kedua dan seterusnya, lebih-lebih jika ia janda, dengan berpoligami, sebagian masalahnya ikut teringankan khususnya dalam hal mencari nafkah, membesarkan anak, dan mengurangi timbulnya fitnah di tengah-tengah masyarakat.
4.         Bagi sebagian wanita, menjadi isteri kedua, ketiga atau bahkan keempat tidak menjadi soal sepanjang ia mendapatkan laki-laki kaya lagi terhormat dan berpangkat, dalam kasus seperti ini, poligami bisa dikatakan dapat mengangkat derajat wanita.[13]
Sementara dampak negatif dari poligami terutama bagi kalangan isteri (pertama) dan anak-anak dari isteri pertama dapat disebutkan sebagian di antaranya :
1.         Ketidakharmonisan hubungan anggota keluarga.
2.         Sering timbul permasalahan.
3.         Menimbulkan kecemburuan antar isteri.
4.         Menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan di kalangan isteri jika suami tak dapat berlaku adil.
5.         Anak-anak yang lahir dari ibu yang berbeda sangat rawan terjadi permusuhan atau persaingan tidak sehat.
6.         Kekacauan dalam bidang ekonomi.
7.         Sang anak merasa tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya.
8.         Anak menjadi frustasi melihat keadaan orang tuanya.
9.         Anak mendapat tekanan mental.
10.     Adanya rasa benci kepada sang ayah.
11.     Dicemooh oleh teman-temannya.[14]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Poligami adalah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang wanita. Dasar hukum poligami yaitu Q.S An Nisa’ ayat 03, dengan syarat  berlaku adil terhadap istrinya. Akan tetapi ada sebagian ulama’ yang berbeda pendapat tentang poligami karena masyarakat dulu berbeda dengan masyarakat zaman sekarang yang lebih mengedepankan nafsu, berdasarkan rujukan dalil Q.S An Nisa’ ayat 129.
2.      Contoh-contoh alasan yang dapat menjadi pertimbangan kawin poligami itu, yang merupakan alasan moral, biologis, dan sosial ekonomis.
3.      Faktor yang mempengaruhi poligami adalah karena istri sedang sakit, karena istri tidak bisa hamil (mandul), karena kepribadian buruk seorang istri, karena hasrat seksual suami yang tinggi serta pekarjaan yang mapan atau ekonomi yang tinggi.
4.      Dampak positif dari perbuatan poligami antara lain : (a) bagi suami lebih memungkinkan untuk terhindar dari berbagai bentuk penyelewengan, (b) bagi isteri kedua dan seterusnya, lebih-lebih jika ia janda, dengan berpoligami, sebagian masalahnya ikut teringankan khususnya dalam hal materi. Adapun dampak negatif poligami antara lain : (a) ketidakharmonisan hubungan anggota keluarga, (b) anak-anak yang lahir dari ibu yang berbeda sangat rawan terjadi permusuhan atau persaingan tidak sehat.










DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Digital
Anshori, Abdul Ghofur. 2011.  Hukum Perkawinan Islam : Prespektif Fikih dan Hukum Islam.Yogyakarta : UII Press.
Bisri, A. Mustofa. 2006. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya : Khalista.
Shahrur, Muhammad. 2010. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta : El-SAQ Press.
Ramulyo, Moh. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Yasid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma’had Ali Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
http : //plus.google.com/111911594393370227129, diakses pada tanggal 03-03-2016




[1] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta : El-SAQ Press, 2010), hlm. 427
[2] Ibid., hlm. 430
[3] Al-Qur’an digital (Q.S An Nisa’ 129)
[4] Abu Yasid, Fiqh Realitas Respon Ma’had AliTerhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 353
[5] Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), hlm.82
[6] A. Mustofa Bisri, Fikih Keseharian Gus Mus, (Surabaya : Khalista, 2006), hlm.293
[7] Ibid., hlm.294
[8] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam : Prespektif Fikih dan Hukum Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2011), hlm.203
[9] Ibid., hlm.204
[10] Ibid.
[11] Abu Yasid, Fiqh Realitas, hlm. 354
[12] http : //plus.google.com/111911594393370227129, diakses pada tanggal 03-03-2016

No comments:

Post a Comment